Danur 3: Sunyaruri merupakan sekuel dari seri Danur sebelumnya, Danur: I Can See Ghost (2017) dan Danur 2: Maddah (2018). Bahkan Spin-Off-nya pun telah diproduksi dengan judul Asih (2018). Ketiga filmnya laris keras di pasaran, tak heran jika sekuel yang ketiga ini diproduksi pula oleh rumah produksi MD Pictures. Sekuelnya juga masih diadaptasi dari novel horor karya Risa Saraswati yang berjudul Sunyaruri. Seperti film pertama dan kedua, film ini konsisten disutradarai oleh Awi Suryadi dan juga dibintangi Prilly Latuconsina. Melihat sukses tiga film sebelumnya, tampaknya filmnya ini akan kembali laris di pasaran.

Sunyaruri bercerita tentang Risa (Prilly Latuconsina) dan Riri, adiknya, yang tinggal di rumah besar hanya mereka berdua saja. Dikisahkan, Risa kini semakin dekat dengan “teman-teman” hantu ciliknya, Peter, Janshen, William, Hans, dan Hendrik. Suatu ketika, Risa mengadakan acara pesta kejutan untuk kekasihnya, Dimas (Rizky Nazar) yang tengah berulang tahun. Beberapa rekan kantor Dimas pun datang. Rekan-rekan gaib Risa, di saat yang sama rupanya juga ingin bermain dengannya. Risa pun terganggu dengan tingkah mereka, sehingga pada satu titik, ia pun marah dan tidak mau menemui mereka. Namun, setelahnya datang sesosok makhluk gaib yang meneror Risa.

Film dibuka dengan kegelisahan Risa tentang dirinya. Ia merasa bahwa hidupnya aneh karena memiliki kemampuan berkomunikasi dengan sosok tak kasat mata bahkan memiliki “sahabat” hantu-hantu cilik. Dilema Risa bertambah ketika ia takut kekasihnya juga tak bisa menerima hal tersebut. Persoalan batin inilah yang menjadi background kisah filmnya. Jika dilihat dari seri sebelumnya, sang sineas selalu membuat background cerita yang berbeda, namun berkesinambungan. Danur pertama terfokus pada kesadaran Risa bahwa ia memiliki kemampuan melihat hal gaib. Danur kedua, kemampuan Risa diuji sebuah kasus gaib yang lebih serius. Kini Risa diuji kemampuannya beradaptasi dan berkompromi dengan situasinya.

Baca Juga  Talak 3

Seperti seri sebelumnya, plot filmnya didominasi setting rumah besar. Suasananya sepi. Seolah filmnya memang ingin fokus mengeksplor kesendirian Risa sebagai tokoh utama. Judulnya, “Sunyaruri”, berarti alam keheningan, ditambah pula tanpa kehadiran “teman-teman” Risa yang menghilang di beberapa segmen film. Walau terasa agak janggal juga, rumah sebesar itu, hanya ditinggali dua orang saja. Di mana orang tua mereka? Aneh jika tak ada pembantu rumah tangga untuk mengurus rumah sebesar itu. Kisah filmnya sendiri juga kurang memiliki motif yang kuat dan cenderung dipaksakan. Masalah cerita bisa digali lagi, terutama melihat potensi background ceritanya yang sudah baik. Sang sineas memang mampu menjaga alur cerita dengan tempo yang pas, namun ketika sisi kejutan muncul, tak ada gigitan sama sekali. Filmnya hanya menekankan pada eksplorasi intensistas ketegangan dari tiap adegan yang dibangun melalui teror dan jump scare.

Poin plus terlihat dari unsur teknisnya yang terlihat mapan. Setting, pencahayaan, serta pengambilan gambar disajikan lebih baik daripada film horor kebanyakan. Sang sineas bermain-main dengan aspek tata kamera dengan apik, seperti penggunaan kemiringan frame untuk menunjukkan situasi yang tak wajar. Satu hal  yang membedakan dengan seri sebelumnya adalah kemampuan untuk membuat suasana dan mood horor yang dibangun dari setting-nya. Hal ini terlihat dari adegan yang hampir sepanjang film didominasi unsur hujan yang tiada henti serta didukung tata cahaya yang suram. Lalu juga sosok hantu yang lebih menyeramkan dengan make-up yang memukau. Efek suara dan musik sangat mendukung suasana horor filmnya, seperti suara hujan, petir, dan musik yang meneror penonton sepanjang filmnya.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaNe Zha
Artikel Berikutnya6,9 Detik
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.