Desperate Hour adalah film thriller garapan sineas kawakan Phillip Noyce. Noyce adalah sineas dibalik film-film thriller populer, seperti Patriot Games, Clear Present Danger, The Bone Collector, hingga Salt. Desperate Hour dibintangi oleh penampilan solo aktris tenar, Naomi Watts. Tidak seperti karya sebelumnya, kali ini Noyce mencoba untuk menggarap thriller sederhana dan efisien. Apakah mampu bersanding secara kualitas dengan film-film sebelumnya?

Amy (Watts) adalah seorang ibu beranak dua yang tinggal di wilayah kota pinggiran. Setahun setelah kehilangan suaminya, Amy dan putranya, Noah, masih mengalami trauma mendalam yang membuat hubungan keduanya merenggang. Suatu hari, Amy yang tengah jogging di areal hutan jauh dari kota, mendadak dikejutkan berita bahwa sekolah Noah diteror oleh penembak senpi. Sepanjang cerita, kita hanya melihat bagaimana usaha Amy untuk bisa secepatnya ke kota serta mencari tahu keberadaan Noah melalui selulernya. Hanya ini.

Lagi, konsep produksi minimalis diterapkan, kali ini oleh sineas kawakan sekelas Noyce. Ia sepertinya tertantang pula dengan situasi pandemi untuk membuat satu karya yang unik. Tokoh utama hanya bermodal satu pemain saja dengan lokasi yang terus bergerak tapi di areal yang sama (hutan). Konsep kisah “percakapan telepon” macam ini jelas bukan yang pertama, jika kamu masih ingat film-film, seperti Phoneboots, Locke, hingga rilisan tahun lalu, Guilty. Aksi monoton bukan berarti membosankan, film-film ini telah membuktikannya. Lalu Desperate Hours? Rasanya jauh dari pencapaian film-film yang tersebut di atas.

Premis kisahnya jelas menarik. Sejak awal, penonton yang peka pasti bakal tahu akan terjadi sesuatu yang besar pada Amy. Ketika titik balik cerita mulai berubah, tempo plotnya berubah menjadi cepat dan terburu-buru. Kebergegasan ini yang tidak mampu diolah menjadi satu tontonan yang terus membuat penasaran. Alih-alih justru kita merasa lelah dan gemas oleh polah Amy. Oke, saya tidak mau komentar soal Amy ber-jogging ke hutan yang jaraknya 1 jam dari kota, tapi mengapa ia tidak mencoba untuk diam di satu lokasi untuk dijemput taksi online? Panik. Tentu saja. Namun jarak yang cukup jauh jika dinalar saja sudah mustahil untuk kembali ke kota dengan cepat, secepat apapun dia berlari. Ya, ini memang bisa terjadi, namun bagi saya terasa memaksa. Kisahnya tidak cukup kuat untuk membuat satu ketegangan yang benar-benar intens walau naskahnya sudah berusaha keras untuk itu.

Baca Juga  The Fabelmans

Dengan pendekatan estetiknya, Desperate Hour memiliki batasan tipis antara cerdas dan konyol tapi jika kita tambahkan sisi cerita, pilihan akan lebih condong ke konyol. Sang pemain sudah berusaha keras untuk membuat semuanya terlihat natural walau dikecewakan oleh dialognya. Tampak sekali banyak dialognya memaksa, sekadar hanya untuk memancing kita agar lebih penasaran atau bersimpati dan juga terlalu klise. Dalam situasi serba panik, Amy cukup cerdas untuk mencari tahu cara untuk mencari identitas si pelaku tetapi ia tidak cukup cerdas untuk melihat betapa yang dilakukannya adalah untuk kepentingannya sendiri dan bisa membahayakan orang lain. Saya sangat terganggu sekali dengan hal ini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
55 %
Artikel SebelumnyaNo Exit
Artikel BerikutnyaThe Calm Beyond
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.