Die in a Gunfight (2021)
92 min|Action, Comedy, Crime|16 Jul 2021
4.5Rating: 4.5 / 10 from 3,563 usersMetascore: 23
In New York City, a young guy falls for the daughter of his father's nemesis.

Die in a Gunfight adalah film roman gangster yang merupakan adaptasi masa kini dari kisah klasik Romeo & Juliet karya William Shakespeare. Film arahan sineas Collin Schiffli ini dibintangi oleh Diego Boneta, Alexandra Daddario, Justin Chatwin, Travis Fimmel, serta Billy Crudup. Sudah ratusan adaptasi kisah klasik ini melalui medium film dalam banyak variasi genre dan format, dan bahkan beberapa di antaranya adalah karya masterpiece. Lalu bagaimana dengan Die in a Gunfight?

Perseteruan abadi antara keluarga Rathcarts dan Gibbons disisipi kisah cinta antara dua putra putri mereka, Ben (Boneta) dan Mary (Daddario). Setelah mereka dipisahkan selama beberapa tahun, kini mereka dipertemukan lagi dalam situasi berbeda. Ayah Mary, mengirim tangan kanannya, Terrence (Chatwin) untuk menyingkirkan Ben. Di waktu bersamaan, Terrence meminta bantuan pembunuh profesional, Wayne untuk membunuh lawan politik ayah Mary. Dua peristiwa ini saling bertautan menggiring ke satu klimaks besar di akhir kisah.

Bicara adaptasinya, plot filmnya bisa dibilang terlalu lemah. Tanggung, rasanya adalah kata yang tepat. Filmnya seperti kehilangan arah di tengah jalan, tak mampu memberikan penekanan kisah pada sisi cerita mana pun. Padahal di awal, dengan sentuhan estetiknya yang unik, film ini mampu memberikan gambaran yang segar tentang sosok Ben. Sayangnya, dua sisi ini, baik kisah maupun estetiknya tak mampu dijaga dengan baik. Kisahnya seringkali terlalu melebar dan membuang waktu di banyak momen. Informasi cerita sudah benar, hanya saja, kadang satu adegan disajikan terlalu ringan dan terkesan sambil lalu, sehingga terlewat begitu saja tanpa punya emosi. Ini tersaji hingga akhir, melalui resolusi yang “mudah” pula. Tak ada cukup empati dan simpati bagi kisahnya.

Baca Juga  Safe House

Berbeda dengan sisi narasi, sisi estetiknya terbilang unik dan segar dalam beberapa momen. Satu montage yang didominasi teknik split screen disajikan sangat baik di awal. Aspek mise_en_scene melalui permainan elemen setting dan tata cahaya sungguh brilian dalam beberapa adegan. Satu yang terbilang sangat baik adalah adegan di kafe yang memanfaatkan elemen setting (api dan air) dengan perpaduan sisi sinematografi mengesankan, walau tone-nya bernuansa humor. Tanpa perlu banyak dialog, gambar sudah mampu bicara. Namun sayangnya, seperti kisahnya yang kedodoran, sentuhan artistik semacam ini juga tidak mampu konsisten sepanjang filmnya. Entah karena alasan bujet atau lainnya, tidak bisa dimengerti.

Dengan gaya energik dan unik, sayangnya, Die in a Gunfight adalah adaptasi lepas Romeo & Juliet yang tanggung, tak mampu menjaga ritme cerita serta gaya estetiknya hingga akhir. Jika gaya dan plotnya konsisten, rasanya film ini bakal mampu bersaing dengan film-film besar adaptasi lepas sejenis lainnya. Jika belum pernah menonton, coba saja tonton West Side Story, Romeo + Juliet, Shakespeare in Love, atau bahkan film animasi Gnomeo ans Juliet, tercatat masih lebih baik dari Gunfight.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaFear Street Part Two: 1978
Artikel BerikutnyaMeander
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.