Saat kebiasaan di kamar mandi menimbulkan beragam persoalan. Film ini hadir sebagai bentuk sebab-akibat terkait dengan kebiasaan tersebut. Naskah filmnya yang merupakan adaptasi dari salah satu cerpen populer berjudul sama ini ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma bersama sineas John de Rantau yang bertindak sebagai sutradara. Kisah cerpen ini juga pernah dipentaskan di panggung teater. Film ini diproduksi oleh Himaya Pictures, film komedi dewasa ini dibintangi oleh Elvira Devinamira, Mathias Muchus, dan David John Schaap. Menengok karya sineas sebelumnya, Wage, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi terasa sama, melukai nama besar sumber filmnya.
Seperti trailer-nya, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi menceritakan pengaruh kehadiran seorang gadis muda pada suatu warga di sebuah permukiman padat di kota besar. Perempuan berparas menarik ini mengubah sikap para suami hingga memengaruhi kehidupan rumah tangga mereka. Hingga akhirnya, para istri yang mengeluh melapor pada Ketua RT mereka. Lalu apa tindakan Pak RT untuk menyikapi segala keluhan dari warganya?
Tema dan isu filmnya sebenarnya menarik yang dikemas dalam sebuah komedi satir unik, namun memang terasa aneh dan absurd. Pengemasan film sejenis dengan gaya senada, sebenarnya bukanlah hal baru dalam catatan genre sejenis akhir-akhir ini, contohnya saja Terlalu Tampan. Terlepas dari nama besar sang penulis dan karya-karyanya yang memikat, saya jadi bertanya-tanya, apakah film ini memang harus dikemas secara absurd? Pasalnya, film komedi yang lazimnya disajikan ringan ini memiliki dialog-dialog yang kurang mendukung. Alih-alih sebagai pemantik tawa, namun malah terasa tidak jelas dan terdengar aneh di telinga. Ditambah lagi, satu aspek lain yang melukai film ini adalah permainan akting para kastingnya (terutama para pemain bintangnya) yang naik-turun, tidak konsisten.
Film ini dalam beberapa adegan memang terbantu oleh penggunaan teknik long take serta setting yang menguatkan konsep kisahnya, seperti status sosial, mood, serta kadang penggunaan motif/simbol. Namun, lagi-lagi dialog sering kali justru menganggu adegannya. Dialog soal politik dan korupsi pejabat negara rasanya kurang pas dibawakan Pak RT. Akting sang pemain memang kadang memantik tawa, walau tidak sampai tertawa lepas. Penempatan dan pemilihan dialog yang kurang sesuai untuk sosok ini menambah buruk penampilannya.
Alur cerita pun mudah tertebak dari awal hingga akhir, sejak kehadiran Sophie hingga bagaimana hubungan asmaranya akan berakhir. Terlalu gamblang. Bahkan penggunaan teknik “nonlinier” pun tak banyak membantu untuk merahasiakan bagaimana cerita akan berakhir. Andaikan sejak awal, kisahnya memanfaatkan plot “nonlinier” lebih maksimal untuk menggambarkan segmen “imajinasi”, rasanya film ini akan lebih memiliki daya tawar.
Memang, boleh diakui bahwa membuat serta menyajikan film komedi brilian yang sekaligus bisa diterima target penontonnya bukan perkara mudah. Saat momen yang seharusnya memantik tawa pecah dari penonton gagal, maka dapat dipastikan penonton justru akan ‘menertawakan’ film itu sendiri. Isu dan pesan film ini memang relevan dengan kondisi masyarakat kita, tapi mungkin saja kisahnya lebih pas untuk dipentaskan di panggung. Tapi apakah tantangan yang demikian sulit untuk membuat film komedi itu lantas boleh-boleh saja dijadikan pemakluman terhadap pencapaian Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi yang minim? Tentu tidak demikian, ketika keputusan untuk menghadirkan sebuah film ke dalam genre komedi, maka konsekuensi apa pun layak diterima. Film ini setidaknya asyik dinikmati melalui musik-musik yang disajikan sejak pembuka adegan. Nuansa seru dan ramai yang diberikan melalui unsur musiknya, bisa dibilang cukup untuk menutupi luka-lukanya.
Miftachul Arifin
Mahasiswa Magang
kalau saya tidak salah, ini juga ada film pendek nya dan cukup fresh.