Don’t Kill Me (Non mi uccidere) adalah film horor fantasi roman produksi Italia arahan Andrea De Sica. Film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Chiara Palazzolo. Film yang rilis bulan April tahun lalu ini baru dirilis Netflix beberapa hari lalu. Film ini dibintangi Alice Pagani, Rocco Fasano, serta Silvia Calderoni. Bermain di ranah cerita “mayat hidup” antara vampir dan zombi, apakah film ini mampu memberi sentuhan yang baru untuk genrenya?
Mirta (Pagani) dan Robin (Fasano) adalah sepasang kekasih muda yang dimabuk asmara. Suatu ketika, Robin mengajak Mirta untuk menggunakan obat terlarang dan setelahnya, mereka berdua tewas. Setelah pemakaman, malamnya, secara tak diduga Mirta ternyata masih hidup dan keluar dari sana. Mirta pun menemui ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya haus akan darah manusia. Sembari mencari tahu apa yang terjadi, ia pun diburu sekelompok orang misterius yang ingin membunuhnya.
Adegan pembuka plotnya sungguh adalah premis yang amat menjanjikan. Adegan Mirta keluar dari makam adalah salah satu adegan paling menakutkan yang pernah saya tonton dalam medium film. Ini sungguhan! Sosok Mirta yang “bergentayangan” di tengah hutan dan kembali ke rumahnya mengingatkan banyak pada sosok sundel bolong(Suzanna). Momen ketika Mirta mencoba mencari tahu tentang apa yang terjadi dengan dirinya adalah momen terbaik dalam filmnya. Rasa penasaran kita pun sangat terusik karena arah plotnya entah ingin dibawa ke mana.
Dengan penuh ekspektasi, penantian ini pun ternyata hanya sekadar harapan. Film ini juga bukan versi lain dari seri “Twilight”. Dalam perkembangannya, banyak latar sosok dan kisah yang belum bisa dijelaskan secara jelas. Mendadak, situasi berada dalam plot konvensional antara “vampir” dan para pemburunya, dan di tengah-tengahnya, ada satu sosok yang muncul (no spoiler) justru membuat segalanya jadi kehilangan arah. Ah sayangnya bukan main. Jika saja, kisahnya hanya terfokus pada Mirta seorang.
Don’t Kill Me menawarkan perspektif segar untuk genre horor dengan sisi sinematografi yang apik, walau lemah dalam eksposisi dan pengembangan kisahnya. Momen-momen “seramnya” banyak didukung oleh permainan gelap terang dan komposisi serta pergerakan kamera yang sangat mengesankan. Musik pun mendukung nuansa filmnya. Sisi “vampir-zombi” juga mampu diolah sangat baik dengan karakter Mirta, seolah ini adalah pula metafora sang tokoh yang masih labil dengan emosi dan nafsu bergejolak. Muatan yang begitu filosofis, lambat laun bergerak ke sisi aksi konvensional genrenya. Dengan pendekatan cerita berbeda, film ini bisa menjadi sebuah masterpiece. Sayang sekali.