Downfall: The Case Against Boeing adalah film dokumenter garapan Rory Kennedy dengan naskah yang ditulis oleh Mark Bailey dan Keven McAlester. Film yang dirilis Netflix ini menuturkan secara rinci faktor penyebab yang melatarbelakangi peristiwa jatuhnya dua pesawat Boeing 737 MAX 8 di Indonesia dan Ethiopia. Bagi kita, bahasan film ini tentu amat menarik.

Saya masih ingat betul, ketika pesawat Lion Air jatuh dan menewaskan semua penumpang dan awaknya, beritanya begitu heboh dan mendunia. Boeing adalah perusahaan aviasi terkemuka yang konon ini adalah kecelakaan pertama dan terbesar dari pesawat jenis Boeing 737 model terbaru sejak diluncurkan tahun 2017. Kurang dari Lima bulan kemudian, kejadian yang sama berulang dan kali ini di Ethiopia dengan jenis pesawat dan kesalahan teknis serupa. Ini tentu cukup memberikan bukti bahwa ada yang salah dengan pesawat model ini. Nyaris seluruh dunia memboikot Boeing 737 MAX 8 hingga beberapa tahun. Ada apa di balik ini semua? Downfall: The Case Against Boeing menuturkan segalanya secara komplit.

Film dibuka dengan menyentuh kejadian jatuhnya pesawat Lion Air – Boeing 737 MAX di perairan utara Jakarta. Semua dijelaskan demikian runtut dan rinci, dengan paparan dari beragam narasumber yang tegas dan gamblang. Paparan teknis pun mampu dijelaskan efektif sehingga mudah dicerna tanpa berkutat pada istilah yang masih asing. Begitu peristiwa jatuhnya pesawat yang sama di Ethiopia, semua orang tahu bahwa penyebabnya adalah MCAS yang merupakan mekanisme otomatis yang mencegah jika pesawat menukik ke atas secara tiba-tiba. Alat yang sebenarnya dibuat untuk mencegah terjadinya malapetaka justru membuat bencana. Bagaimana bisa? Tidak hanya bicara MCAS serta investigasinya, namun menariknya, film ini justru menarik kembali plotnya ke belakang untuk melihat sisi sejarah, apa yang sesungguhnya terjadi pada perusahaan Boeing. Ujung-ujungnya, semua hanyalah urusan koorperasi dan uang.

Baca Juga  Poltergeist

Alur kisah yang dipaparkan, tidak pernah membuat sedetik pun kita merasa bosan mengikuti film ini. Banyak kejutan informasi yang ternyata selama ini tidak banyak kita ketahui di media. Porsi bahasan pun dipaparkan amat berimbang, antara pihak korban, pilot, tim investigasi independen (jurnalis), pemangku kebijakan (Senat AS), mantan karyawan Boeing, hingga pengamat aviasi. Sayangnya tidak ada narasumber dari pihak Boeing dan FAA (pengatur perijinan dan regulasi penerbangan di AS). Dalam beberapa segmen, disinggung adanya indikasi bargain antara pihak FAA dan Boeing, namun sayangnya ini tidak dijelaskan secara rinci. Angka yang teramat besar, pasti ada di balik ini semua.

Downfall: The Case Against Boeing adalah pemaparan dan investigasi yang komprehensif, apik, ringan, dan menyentuh, di balik dua kecelakaan pesawat tragis beberapa tahun silam. Film dokumenter ini mampu menjelaskan semua kalangan penonton melalui beragam perspektifnya, di balik dua peristiwa naas yang terjadi. Sebuah fakta tragis bahwa manusia punya sifat rakus yang kadang tidak mementingkan keselamatan orang banyak hanya untuk segelintir uang. Jika kamu menangis menonton film ini, tujukan tangismu bukan hanya untuk para korban dan keluarga/sahabat yang ditinggalkan, tapi karena ulah dan sifat alamiah kita sendiri yang membiarkan tragedi tragis ini bisa terjadi.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaFistful of Vengeance
Artikel BerikutnyaPelangi Tanpa Warna
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.