Drive My Car adalah film drama produksi Jepang arahan Ryusuke Hamaguchi. Film ini diadaptasi dari cerita pendek berjudul sama karya penulis kenamaan Jepang Haruki Murakami. Film ini dibintangi Hidetoshi Nikijima, Toko Miura, Masaki Osada, serta Reika Kirishima. Seperti kita tahu bersama, film ini telah meraih puluhan penghargaan internasional, termasuk di Cannes Film Festival dan Golden Globe. Tak kurang lagi, Drive My Car adalah film pertama Jepang yang mampu bersaing dalam kategori film terbaik dengan 4 nominasi Oscar dalam ajang Academy Awards 2022. Seberapa baguskah film drama berdurasi hampir 3 jam ini hingga mampu meraih apresiasi demikian tinggi?

Yūsuke Kafuku (Nikijima) adalah seorang aktor dan sutradara panggung ternama yang dikenal melalui sentuhan uniknya yang menggunakan multi bahasa. Ia menikahi Oto (Kirishima), seorang penulis yang punya kebiasaan aneh, yakni bercerita selama dan setelah mereka berhubungan fisik. Suatu hari Yusuke menemui sang istri tewas akibat pendarahan otak. Kisah pun bergulir 2 tahun kemudian, di mana Yusuke ditawari sebuah pekerjaan di Hiroshima menjadi pengarah satu pertunjukan panggung. Yusuke yang selama ini setia membawa mobil tuanya, kini harus merelakan seorang sopir perempuan muda, Misaki (Toko Miura) untuk mengantarnya ke lokasi setiap hari. Bersamaan dengan progres latihan pertunjukannya, kebersamaan Yusuke dan Misaki pun menjadikan mereka memiliki hubungan unik yang mengubah hidup mereka.

Oh my, tidak mudah meringkas cerita film ini karena kedalaman kisah dan plot berlapisnya. Bukan hal mudah pula untuk mengulas film ini karena banyak hal yang tak bisa dituliskan secara gamblang (spoiler). Film dibuka dengan satu adegan di ranjang, bagaimana Oto bercerita dengan penuh passion tentang sebuah cerita pada Yusuke. Mereka seolah tampak sebagai pasangan berbahagia, namun terasa ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka, hingga akhirnya Oto pun pergi untuk selamanya. Segmen pembuka yang absurd ini tentu banyak memicu pertanyaan kita. Ada apa sebenarnya dengan mereka? Seolah, Oto tak lagi bahagia dengan Yusuke hingga memilih jalan penuh “dosa”. Percaya saja, kisahnya ternyata tidak sesimpel ini.

Setelah segmen opening yang demikian panjang, kisah babak berikutnya dituturkan 2 tahun berselang yang secara unik “dibuka kembali” lengkap dengan kredit pemain dan kru. Alur plotnya yang bergulir lambat berkisah tentang proses audisi dan latihan pertunjukan panggung Yusuke, dan juga hubungan uniknya dengan sang sopir, Misaki. Tempo yang relatif lambat tidak lantas membuat filmnya membosankan karena justru pada momen-momen inilah secara perlahan, kisahnya mulai membuka relasi dengan segmen pertamanya. Dengan dialog intim antara tokoh-tokohnya yang semakin terbuka, sedikit demi sedikit terjawab pula penyebab hubungan Yusuke dan Otto merenggang. Plotnya memang tidak sederhana yang kita pikir, dan lapisan luar plotnya ini ternyata bukan merupakan poin dan pesan filmnya.

Baca Juga  Lagaan, Film Masala Berselera Barat

Film ini secara jelas bicara tentang “(cara) komunikasi” yang berujung pada penyesalan dan trauma. Komunikasi pula yang menjadi poin dalam pendekatan pertunjukan yang diarahkan Yusuke dengan semua karakter menggunakan bahasa yang berbeda, bahkan bahasa isyarat. Bahasa fisik adalah bukan yang utama, namun adalah bahasa hati yang jujur pada diri sendiri. Ini secara gamblang terlontar dalam dialog menjelang akhir filmnya. Tak ada tafsiran sulit di sini. Semua ada dalam dialognya. Rekaman suara Oto yang menemani perjalanan Yusuke dan Misaki, lambat laun tergantikan dengan dialog kecil di antara mereka, duduk berdampingan di kursi depan, hingga merokok bersama di dalam mobil. Yusuke telah mampu melepaskan Oto. Ending-nya menyajikan sebuah resolusi yang amat manis. Mobil tua warna merah Saab 900 Turbo milik Yusuke menjadi saksi bisu perjalanan sang pemilik yang mengiringi rasa duka, trauma, penyesalan, serta kebahagiaan yang dirasakannya kini.

Drive My Car adalah sebuah tontonan berkelas melalui kedalaman naskah dan tema menyentuh, didukung sentuhan estetik sang sineas serta penampilan kuat para kastingnya. Dari sisi sinematografi, selain komposisi solid yang penuh makna, sang sineas juga suka menahan durasi shot-nya sehingga mampu memberi sentuhan personal melalui ekspresi tiap karakternya. Naskah yang demikian kuat tak berarti sama sekali tanpa penampilan bersahaja Nikijima. Para kasting perempuannya, Reika Kirishima, Toko Miura, serta Park Yu-rim pun memberikan penampilan menawan dengan memberikan kedalaman lebih pada kisahnya. Drive My Car yang berlokasi cerita di Hiroshima bisa jadi masih memiliki pesan lain terkait sejarah penuh trauma yang pernah terjadi pada masa PD II. Film ini tidak memiliki isu global yang sensitif, namun mampu mengusik batin kita sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan. Drive My Car adalah salah satu film terbaik dalam beberapa dekade terakhir, dan salah satu film modern Jepang terbaik yang pernah ada.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaThe Batman
Artikel BerikutnyaBlacklight
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

2 TANGGAPAN

  1. An excellent, thoughtful review. You show a very comprehensive understanding of the movie’s themes. “Disturb our minds”, as you put it, is what the movie does. You can’t shake it. It hits close to your own life if you’ve loved, lost, erred or cared deeply. I’ve also reviewed the movie. The link to my review is below (subscriptions are free).

    • Thank you for your attention to our review. our writers really appreciate it. We will definitely visit your posts. Thank you very much. Sorry for the delay in responding.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.