Dua Garis Biru

1

Dua Garis Biru adalah film drama remaja yang diarahkan dan ditulis oleh Gina S. Noer yang sebelumnya lebih kita kenal sebagai penulis skenario. Film produksi Starvision Plus ini dibintangi oleh Adhisty Zara, Angga Aldi Yunanda, Cut Mini Theo, Lulu Tobing, dan Dwi Sasono. Di era generasi milineal yang serba instan akibat maraknya media sosial dan gadget yang semakin canggih, Dua Garis Biru menampilkan kisah “klasik”, kehamilan remaja di usia dini. Jauh sebelum rilisnya, film ini menuai kontroversi karena dianggap tidak pantas dikomsumsi khalayak. Mungkin ini mengapa, pada hari pertama rilisnya, film ini dibanjiri penonton yang memenuhi bioskop.

Alkisah Bima dan Dara sudah lama berpacaran hingga rekan-rekan sekelasnya pun menyindirnya “suami-istri”. Bima suatu ketika bermain di rumah Dara yang tengah kosong. Perbincangan dan bercandaan ringan di kamar Dara pun berbuntut pada perbuatan yang semestinya belum boleh mereka lakukan. Peristiwa ini rupanya berbuntut pada hamilnya Dara. Mereka berdua mesti menghadapi situasi yang rumit di tengah keluarga dan lingkungan sekolah mereka.

Tanpa banyak latar cerita, film ini sejak awal langsung to the point. Kejadian pun berlangsung ringkas dan secara elegan dikemas tanpa sedikit pun memperlihatkan sisi erotisme. Konflik berkembang semakin menarik ketika Dara Hamil dan empati penonton begitu mudahnya melebur dalam kisahnya. Masalah demi masalah semakin menguat dan puncaknya pada adegan satu shot panjang di sekolah. Setelah ini, kisahnya berubah haluan. Seluruh problematika kehamilan di usia dini disajikan di sini. hidup mereka berdua berubah, begitu pun keluarga mereka. Tempo filmnya melambat dan mulai terasa melelahkan karena alur kisahnya tak sulit ditebak. Permainan akting para pemainlah yang menghidupkan kisahnya. Seluruhnya bermain memikat, khususnya Zara dan Cut Mini yang bermain di atas rata-rata pemain lainnya.

Sepanjang film, bukan konfliknya yang menjadi perhatian saya, namun ending seperti apa yang ingin ditawarkan film ini. Kita semua tahu, film ini jelas memiliki muatan edukasi di mana suatu perbuatan “terlarang” akan memiliki konsekuensi. Secara gamblang, sang dokter pun berceramah tentang resiko hamil di usia muda. Lantas sejauh apa konsekuensi yang berani ditawarkan? Jika berakhir tragis tentu tak berpihak pada penonton, dan jika berakhir bahagia tentu tak senada dengan pesan filmnya. Film ini secara cerdas ternyata tidak memilih keduanya walau terasa sebagai pilihan yang aman.

Baca Juga  Star Syndrome

Di luar kisahnya yang membumi dan menyentuh, secara estetik film ini menyajikan sisi visual yang mengagumkan dalam beberapa momennya, khususnya pada aspek sinematografi. Dalam satu momen ketika Dara mengambil keputusan untuk melahirkan anaknya, satu shot lebar memperlihatkan selokan yang dalam di bawah posisi dua tokohnya menggambarkan masalah yang bakal dijalani mereka kelak. Satu shot panjang di ruang UKS sekolah disajikan sangat mengesankan dengan semua tokoh utamanya ada di sini. Kombinasi gerak kamera dan pemain, serta akting kuat para pemain membuat satu drama dalam ruangan sempit ini begitu enak untuk diikuti. Satu lagi momen dramatik adalah ketika keluarga Bima bersama Dara harus berjalan begitu jauh menyusuri jalan kampung untuk mencapai tempat tinggalnya. Dara harus menghadapi kenyataan hidup yang pahit dengan penggambaran begitu brilian melalui apa yang ia temui di sepanjang jalan, melewati jembatan serta lorong pemukiman yang sempit dan kumuh, hingga cekcok rumah tangga, serta kematian. Momen ini adalah salah satu pengalaman sinematik paling berkesan yang pernah saya temui di film-film kita.

Walau mengambil jalur aman, Dua Garis Biru menampilkan isu kontroversial melalui kisah drama remaja menyentuh dengan dukungan memikat dari para kastingnya serta sisi sinematografi yang menawan. Satu lagi pencapaian sangat baik dicapai oleh para pembuat film kita. Terlepas dari kontroversi yang ada, Garis Biru adalah salah satu film penting, terlebih di era kini. Penonton remaja bisa mengambil hikmahnya dari kisah yang ditawarkan. Sementara konsep cerita dan kemasan estetik film ini, bisa menjadi acuan baru untuk pengembangan genre sejenis. Sisi naskah, sinematografi, musik, serta permainan akting memesona dari Zara dan Cut Mini jelas patut diapresiasi lebih. Film ini sepertinya bakal mudah mendominasi penghargaan festival-festival film lokal bergengsi tahun depan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaCrawl
Artikel BerikutnyaLewati USD 1 Miliar, Spider-Man 3 Bakal Diproduksi
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

  1. Film ini sangat rekomen terutama buat remaja remaja yang baru pubertas, karena film ini terdapat nilai moral dan makna didalamnya seperti menjauhkan kita dari hal yng tidak boleh dilakukan terutama free sex dan juga menggambarkan bagaimana cara kita menjaga diri di masa depan juga supaya tidak terjerumus ke dalamnya.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.