Dune (2021) adalah film remake yang merupakan adaptasi kedua (Dune/1984) dari novel berjudul sama karya Frank Herbert. Film ini diarahkan oleh sineas kawakan Denis Villeneuve yang merupakan chapter pertama dari kisah filmnya yang hingga kini pun kabarnya belum diproduksi. Film berbujet USD 165 juta ini dibintangi sederatan bintang ternama, yakni Timothee Chalamet, Zendaya, Rebecca Ferguson, Oscar Issac, Josh Brolin, Jason Momoa, Stellan Skarsgard, Javier Bardem, hingga Dave Bautista. Dune (1984) telah menjadi film cult berjalannya waktu, kini dengan modal besar, sineas dan bintang papan atas, bagaimana dengan remake-nya ini?
Kisahnya sama dengan film produksi tahun 1984-nya dengan sentuhan berbeda tentunya. Di Planet Arrakis terdapat sumber daya alam (SDA) tak ternilai yang diistilahkan “spice”. Planet gurun dengan iklim yang tak bersahabat ini, plus cacing raksasa-nya, dikuasai oleh keluarga Hakkonen yang telah puluhan tahun di sana. Penduduk pribuminya, Fremen, telah puluhan tahun melakukan perlawanan, namun tak pernah berhasil, karena Hakkonen dilindungi oleh sang kaisar penguasa galaksi. Kaisar pun akhirnya memutuskan keluarga Atreides untuk mengambil alih Arrakis, yang berujung pada pihak Hakkonen yang meradang. Di balik itu, ternyata terdapat plot besar sang kaisar untuk meruntuhkan keluarga Atreides yang semakin populer. Sang pewaris tahta Atreides, Paul (Chalamet), dianggap adalah ancaman besar, terlebih warga Arrakis menggapnya sebagai juru selamat, atau Mahdi.
Kompleks? Ya tentu. Di balik ringkasan cerita di atas, masih banyak detil-detil kecil yang terlalu rumit untuk dikisahkan, namun amat penting. Sebut saja, kelompok Bene Gesserit, yang di dunia Star Wars mirip-mirip dengan Jedi. Walau saya terakhir menonton Dune (1984) puluhan tahun lalu, namun rasanya film remake-nya kali ini lebih mudah untuk diikuti. Bisa jadi karena kisahnya kali ini lebih detil karena hanya mengambil separuh dari cerita novelnya. Hanya saja, satu hal yang sedikit mengganjal adalah durasinya yang kelewat panjang dengan tempo yang sangat lambat. Dalam beberapa momen, plotnya terasa sedikit melelahkan. Namun, ini semua tertutup oleh tata artistik serta efek visualnya yang sangat istimewa, tentu ini adalah buah tangan emas sang sineas yang sudah terlihat sejak Arrival dan Blade Runner 2049.
Kalau boleh jujur, rasanya ini adalah pencapaian efek visual (CGI) terbaik yang pernah saya lihat. Semuanya terlihat begitu detil dan halus. Belum lagi setting, baik eksterior dan interior, yang tak sulit rasanya bersaing dalam ajang Academy Awards tahun depan, bersama efek visual, kostum, dan musik. Musik? Komposer kawakan, Hans Zimmer kali ini mampu membawa nuansa musik yang berbeda melalui sentuhan etniknya. Lantas pemain? Selain dua sosok, Chalamet dan Sarah Ferguson, rasanya tak ada yang tampil dominan dan ekspresif, kecuali Skarsgard yang hanya tampil sekilas tapi mampu bermain karismatik sebagai Baron yang sadistik.
Di luar sebuah remake dan durasinya yang panjang, Dune (2021) adalah sentuhan emas sang sineas dengan tata artistik serta visual yang istimewa. Kisahnya yang mengandung unsur “kolonialisme” jelas masih terasa relevan hingga kini. Kisah ini entah mengapa juga banyak mengingatkan pada kekuasaan VOC yang menguasai “spice” (baca: rempah) begitu lama di negeri ini. Rebutan SDA, seperti ladang minyak, emas, berlian, sudah bukan isu yang baru lagi di muka bumi ini, dan sudah banyak disajikan dalam medium film. Penggulingan kekuasaan atau pemerintahan, terorisme, perang agama, politik, semuanya hanya berujung pada satu hal saja, uang. Dune (2021) milik Villeneau memberi satu metafora ini dengan gaya visual yang amat berkelas. Saya hanya berharap, semoga sekuelnya diproduksi.