Escape from Mogadishu adalah film aksi drama thriller produksi Korea Selatan yang diarahkan oleh Ryoo Seung-wan, yang konon diadaptasi dari kejadian nyata saat perang sipil di Somalia pada tahun 1991. Film ini dibintangi Kim Yoon-seok, Jo In-sung, Heo Joon-ho, serta Kim So-jin. Film ini akhirnya dirilis pertengahan tahun ini yang seharusnya rilis tahun lalu yang ditunda akibat pandemi berkepanjangan. Mogadishu menjadi salah satu film terlaris di negaranya tahun ini dan bahkan dinobatkan sebagai wakil dari Korea Selatan untuk dikirim ke ajang Academy Awards tahun depan. Apakah seistimewa itukah film ini?

Akhir 1980-an, baik Korea Selatan dan Korea Utara yang pecah, membutuhkan dukungan PBB untuk mendapatkan pengakuan internasional. Salah satu negara yang mendukung mereka adalah Somalia sehingga keduanya menempatkan duta besar handalnya untuk mendapatkan dukungan dari negara ini. Kedua pihak saling jegal untuk mencapai tujuan mereka. Namun, di saat bersamaan, perang sipil pecah di Somalia, yang menyebabkan situasi kota Mogadishu menjadi layaknya neraka. Para pemberontak tidak segan-segan untuk membunuh siapa pun termasuk para konsulat asing di negara tersebut. Di luar kepentingan dan konflik politik mereka, para konsulat kedua negara terpaksa harus bekerja sama untuk bisa keluar dari neraka.

Sejak Parasite, rasanya ini adalah film terbaik Korea Selatan yang saya tonton. Film Korea rupanya tidak hanya jago kandang (lokasi produksi), namun juga mampu menghasilkan karya yang amat istimewa di luar lokasi negaranya, yang konon diproduksi sepenuhnya di Maroko. Dengan production value begitu meyakinkan, semua pengadeganannya terlihat sangat nyata dengan skala produksi kolosal. Tidak sejak Black Hawk Down karya Ridley Scott, sajian perang sipil di salah satu ibukota di Afrika disajikan begitu meyakinkan dan menegangkan. Aspek setting dan segala atributnya ini saja sudah cukup untuk membuat film ini terbilang luar biasa.

Jelas, adalah faktor cerita yang membuat film ini begitu istimewa. Siapa sangka, berlatar perang sipil di Mogadishu, ketegangan dan pula kolaborasi dua Korea beda kutub ini tersaji begitu menggemaskan serta pula menyentuh dengan selipan humor ala Korea. Sebelum titik balik cerita, porsi cerita kedua pihak tersaji sama rata. Dengan segala cara dan usaha untuk menjatuhkan lawan, serta rasa saling curiga dan rasa was-was di antara mereka. Eksposisi kuat ini berhasil membangun ketegangan maksimal ketika kedua pihak saling berhadapan dalam satu ruang, di satu meja makan. Ini adalah satu momen terbaik dalam filmnya.

Baca Juga  Train to Busan

Sisi ketegangan pun semakin menjadi tatkala konflik yang sebenarnya mulai mengancam, yakni bagaimana mereka harus bertahan hidup dan ke luar dari neraka kecil ini. Momen ini adalah salah satu yang paling menegangkan dalam genrenya, yang diproduksi dalam satu dekade terakhir ini. Aksinya yang begitu menegangkan, tidak hanya mampu membuat semua tokohnya lupa akan konflik internal mereka, namun juga kita yang menonton. Tentu, para kastingnya berperan besar dalam mendukung ini, khususnya empat tokoh utamanya, yang mampu berperan ekspresif, masing-masing sebagai duta besar dan penasihatnya. Sayangnya, sosok perempuan kurang dominan dalam plotnya.

Escape from Mogadishu adalah salah satu film Korea Selatan terbaik yang mampu menyajikan drama politik dan aksi ketegangan penuh, dengan pencapaian estetiknya yang istimewa, serta momen menyentuh di antara konflik abadi, selatan dan utara. Tidak mudah untuk memproduksi film “perang” berskala luas macam ini, dan lagi-lagi industri film Korea Selatan berhasil bersaing dengan lawan kuatnya di barat sana. Dengan latar konflik kisahnya, sisi politik, film ini memang sedikit unggul. Mogadishu memang memiliki beberapa kelemahan kecil dalam segmen aksinya, serta adaptasi kisahnya yang bisa jadi berbeda dengan realitanya yang diubah atas nama dramatisasi adegannya. Namun, tidak berarti ini mengurangi sisi humanis serta pencapaian estetiknya yang istimewa.  Saya sungguh berharap Mogadishu mampu mendapat apresiasi tinggi dalam ajang Academy Awards tahun depan. Mogadishu adalah salah satu contoh ideal bagaimana film box-office bisa pula memiliki kedalaman cerita dan makna.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaDune
Artikel BerikutnyaHalloween Kills
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses