Eternals (2021)
156 min|Action, Adventure, Fantasy|05 Nov 2021
6.3Rating: 6.3 / 10 from 384,714 usersMetascore: 52
The saga of the Eternals, a race of immortal beings who lived on Earth and shaped its history and civilizations.

Eternals merupakan seri ke-26 Marvel Cinematic Universe (MCU) dengan karakter-karakter baru yang belum pernah muncul sebelumnya. Eternals digarap oleh sineas peraih Oscar baru lalu, Chloe Zhao. Film berbujet USD 200 juta ini dibintangi oleh Genma Chan, Richard Madden, Kumail Nanjiani, Kit Harrington, Salma Hayek, Don Lee, serta aktris tenar Angelina Jolie. Dengan segala varian kisah sebelumnya, MCU kini mencoba mengeksplorasi ruang dan waktu semesta sinematiknya dengan cara berbeda melalui sosok-sosok barunya ini. Apakah sepadan dengan film-film besar MCU lainnya?

Alkisah 5000 SM, para Eternals yang abadi dikirim ke bumi oleh Celestial Arishem untuk melindungi umat manusia dari monster Deviants. Mereka tidak boleh mencampuri urusan umat manusia sedikitpun jika tidak berhubungan dengan Deviants. Selama ratusan tahun lamanya, bumi aman sentausa dari gangguan Deviants dan para Eternals hidup berdampingan dengan manusia. Suatu ketika, Deviants kembali muncul mengincar para Eternals. Pemimpin mereka tewas dibunuh dan para Eternals yng kini dipimpin Sersi (Chan) harus bersatu kembali untuk melawan Deviants. Namun, di balik ini semua, ternyata ada misteri besar dengan agenda berbeda yang tidak diketahui para Eternals.

Melihat kisahnya, seperti bukan menonton film MCU. Kisahnya ini rasanya seperti lepas dari rangkaian cerita yang sudah kita kenal betul. Skala cerita yang terlalu luas dengan menyinggung konsep pembentukan alam semesta.. dan seterusnya. Terasa absurd? Ya tentu saja, walau kita sudah diperkenalkan konsep multiverse melalui beberapa seri sebelumnya, termasuk Loki dan What If…?.  Lalu ini apa lagi? Buat fans fanatik komiknya yang memang sudah mengenal sosok-sosok ini mungkin bukan masalah. Apakah ini memang momen (fase) yang tepat untuk mengeksplorasi kisah MCU sejauh ini? Dengan sosok-sosok berkekuatan super dan berpengetahuan macam ini lantas cerita macam apa yang ingin dikembangkan kelak?

Kisah Eternals sendiri secara terpisah berjalan menarik, khususnya karena banyak menggunakan kilas-balik yang sangat intensif. Di sinilah nilai lebih filmnya yang bolak-balik dari satu masa ke masa lainnya yang membuat filmnya tidak terasa membosankan karena kita diajak berjalan-jalan dari satu setting ke setting lainnya yang divisualisasikan begitu mengesankan. Dari semua film MCU, ini adalah film dengan rentang periodisasi sejarah paling banyak. Hanya minusnya karena karakter yang terlalu banyak sehingga tidak mampu membuat latar cerita yang cukup untuk semua sosoknya. Tapi tidak untuk chemistry Gilgamesh dan Thena yang justru terasa kuat, tentu karena dua kasting seniornya. Beberapa sosok, bahkan nyaris tidak terasa adanya ikatan batin dengan kita.

Baca Juga  Annabelle Comes Home

Bicara visual, untuk standar film MCU sedikit lebih dari biasanya. Bisa jadi ini adalah salah satu CGI yang paling halus di antara film-film MCU sebelumnya. Panorama dan setting kolosal yang begitu variatif dan memesona di didukung pula sisi sinematografi yang mengesankan. Di antara semua serinya, Eternals adalah yang paling mendekati dengan genre western dari sisi estetiknya. Untuk aksinya, ini jelas bukan kali pertama sajian sejenis ditampilkan, walau ditampilkan dengan begitu nyata, namun tetap terasa ada yang kurang menggigit. Untuk aksi supernya, apa saya tidak salah lihat atau hanya kebetulan jika Eternals banyak memiliki kemiripan dengan Justice League, yang beberapa di antaranya benar-benar disinggung secara verbal di filmnya. Superman, Batman, Flash, Wonder Woman, bahkan Green Lantern? Hmm..

Dari sisi cerita bukan yang terbaik (atau bisa yang terburuk) untuk seri semesta sinematiknya, namun Eternals menawarkan pendekatan estetik yang berbeda dengan keragaman setting, karakter, serta periodisasi kisahnya. Satu hal yang menarik di film ini justru bukan pada filmnya, namun pada kontroversi yang melingkarinya. Film ini dilarang diputar di beberapa negara Arab karena menyajikan adegan intim LGBT. Sang sutradara dan produser pun tidak mengijinkan untuk menyensor filmnya. Lantas bagaimana di Indonesia? Saya sendiri heran bisa tayang di sini dan ternyata gunting sensor pun bekerja cekatan dengan catatan: kasar banget! Lelah, jika menonton harus dinodai cacat potongan macam ini. Di luar gangguan ini, Eternals hanya terasa sebagai pengantar kisah yang lebih besar untuk seri berikutnya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaFinch
Artikel BerikutnyaAkhirat: A Love Story
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.