Fear Street: Part Three - 1666 (2021)
114 min|Horror, Mystery|16 Jul 2021
6.6Rating: 6.6 / 10 from 67,573 usersMetascore: 68
In 1666, a colonial town is gripped by a witch hunt that has deadly consequences for centuries to come, while teenagers in 1994 try to put an end to their town's curse before it is too late.

Fear Street Part Three 1666 (FS 1666) adalah seri final dari trilogi horor Fear Street yang dirilis Netflix sejak tiga minggu lalu. Sama seperti dua pendahulunya sebelumnya, seri ketiga ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya R. L. Stine dan disutradarai oleh Leigh Janiak. Film ketiga berdurasi dua jam ini dibintangi nyaris seluruh kasting seri pertama dan keduanya, antara lain Kiana Madeira, Benjamin Flores Jr., Ashley Zukerman, serta Gillian Jacobs. Lantas, apakah seri final ini mampu menuntaskan trilogi ini dengan memuaskan?

Plot besar FS 1666 dibagi menjadi dua segmen, yakni masa lalu (1966) dan sekarang (1994). Melanjutkan kisah seri keduanya, Deena (Madeira) kembali ke masa lalu, yakni tahun 1666, awal di mana malapetaka di Shadyside bermula. Setelah Deena mengetahui dalang di balik semuanya, bersama Josh, Ziggy (tua), dan Martin (tahanan sherrif), mereka berusaha untuk mematahkan kutukan di kota ini sekaligus menyelamatkan sang kekasih, Sam. Jelas tidak mudah karena lagi-lagi mereka harus menghadapi para tukang jagal dari masa lalu yang tidak bisa dibinasakan begitu saja.

Sebelum masuk ke dalam ulasan seri ketiga ini. Saya mencatat hal yang unik dalam ketiga seri ini. Plot film FS 1666 layaknya dua film yang terpisah waktu amat jauh, lebih dari 300 tahun. Satu segmen plot adalah asal usul kutukan Shadyside dan satunya ending dari kutukan tersebut. Segmen pertama, lini masanya berada jauh sebelum seri ke satu dan ke dua, sementara segmen kedua adalah sesaat setelah peristiwa seri pertama. Sementara seri kedua, lini masanya juga terjadi sebelum seri pertama. Jadi, FS 1666 adalah prekuel dan sekaligus sekuel. Jadi jika diurutkan adalah sebagai berikut: 3A (1666), 2 (1978), 1 (1994), lalu 3B (1994). Struktur serinya adalah nonlinier. Satu hal yang langka dalam sebuah trilogi film, terlebih genrenya.

Seri ketiga (segmen 1666) menjawab semua pertanyaan pada seri pertama dan kedua. Segmen pertama ini secara detil mengisahkan Sarah Frier yang uniknya menggunakan sosok Deena sebagai mediumnya. Tidak hanya Deena, namun juga Sam, Josh, Ziggy (muda), Cindy (muda), dan lainnya, sehingga kita tahu relasi antar tokoh dalam kisah ketiga serinya secara keseluruhan. Ini tentu memudahkan pula untuk mencerna inti plot dan relasi antara konflik seri pertama dan kedua dengan segmen 1666 ini. Konsep pengaturan tokoh dan lini masa dalam ketiganya harus diakui memang brilian. Naskahnya mampu membuat satu cerita yang kompleks menjadi sederhana.

Baca Juga  Happiest Season

Segmen kedua seri ketiga (1994) jauh berbeda dengan seri pertama filmnya, di mana kala itu Deena dan Josh bertindak sembrono dan spekulatif terhadap hal-hal yang sama sekali tidak mereka pahami. Kini, dengan segala informasi yang utuh, aksi-aksinya menjadi lebih menegangkan dan menghibur untuk ditonton. Motif begitu kuat dan ancaman menjadi begitu terasa karena tokoh-tokohnya tahu benar apa yang kini mereka hadapi. Sosok Martin yang merupakan pemain baru, menjadi selipan humor di antara aksi brutalnya. Ini berbeda jauh dengan seri pertama yang hanya mengumbar aksi kucing-kucingan dan aksi brutal semata.

Seperti seri pertama dan kedua, setting kembali menjadi satu poin besar dalam kisahnya. Seri ketiga yang membangun satu pemukiman masa silam terlihat meyakinkan. Musik dan lagu, yang tidak banyak saya bahas di ulasan sebelumnya, memang membantu suasana intens pada banyak adegan pada ketiga serinya. Lagu-lagu pop dan rock populer pada masing-masing eranya juga pas mendampingi beberapa kali segmen montage-nya yang menawan. Para kastingnya juga bermain baik, hanya saja di seri ketiga ini, aksen dialog masa silamnya (1666) masih terasa kurang greget, walau tampak mereka sudah berusaha.

Fear Street Part Three 1666 adalah sebuah resolusi yang memuaskan dengan kombinasi cerita unik serta segmen klimaks yang intens. Satu paket trilogi horor ini dengan segala tribute-nya adalah sebuah pencapaian langka dalam genrenya. Sangat disayangkan, ketiga film ini tidak bisa kita saksikan di bioskop. Film ini pasti bakal membuat sensasi penonton yang luar biasa, terlebih di sini. Bicara tema, kita semua sudah tahu ke mana arah seri ini sejak awal. Bagi yang pro dan kontra, saya tidak mau mengambil posisi selain hanya menghargai aspek cerita dan filmis yang disuguhkan trilogi horor ini. Cara bertutur dan kisahnya yang berseri bisa jadi bakal tren di masa datang. Konon trilogi ini kini tengah trending, sayang, tidak ada angka box-office yang bisa mengukur kesuksesan film ini.

baca ulasan: Fear Street Part One 1994     Fear Street Part Two 1978

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaSpace Jam: A New Legacy
Artikel BerikutnyaThe Forever Purge
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.