Fakta baru di balik sebuah pilihan atas suatu prinsip hidup, hukum keagamaan, kemanusiaan, dan harga diri adalah poin-poin utama dalam setiap film arahan Jastis Arimba, termasuk 100% Halal ini. Malahan, selalu ia juga yang menulis skenarionya bersama Ali Eounia. Keraguan mengenai kualitas film ini pun kian bertambah besar karena sumber ceritanya pun berasal dari sang sutradara serta diproduksi oleh MVP Pictures, perusahaan dengan produk sinetron berwajah buruk. Beberapa nama yang mengisi peran dalam film ini, antara lain Kinaryosih, Ariyo Wahab, Anisa Rahma, Anandito Dwis, Niniek L. Karim, serta Ray Sahetapy. Melihat nama-nama yang terlibat, bisa sebesar apa ekspektasi terhadap film ini kemudian?
Pernikahan usia muda antara seorang lulusan SMA, Anisa Santosa (Anisa Rahma), dengan mahasiswa dan pegawai proyek konstruksi, Putra Alfatih (Anandito Dwis) menemui misteri besar. Meski ayah Anisa, Ilham Santosa (Ariyo Wahab) telah mengatur segala sesuatu sebaik mungkin termasuk memilihkannya calon, tak lantas melepaskannya dari ‘dosa besar’ yang berusaha dikuak oleh nenek Anisa, Nenek Yos (Niniek L. Karim) tentang orang tua asli Anisa. Sayangnya, sang nenek terlebih dahulu meninggal tanpa benar-benar membongkar rahasia besar Ilham. Kepergian Nek Yos membuka kemungkinan-kemungkinan baru sekaligus memantik kegelisahan dalam benak Anisa, mengenai siapa dan di mana ibu kandungnya.
Tidak ada ekspektasi yang terlalu muluk-muluk saat melihat 100% Halal diproduksi oleh MVP, terlebih digarap oleh Jastis beserta duetnya dengan Ali. Dua film garapan mereka sebelum ini (212: The Power of Love dan Hayya: The Power of Love 2) tak jauh berbeda. Tampaknya sineas 100% Halal perlu banyak belajar dari kerapian Danial Rifki, meski ciri khas keduanya sama-sama mengangkat topik-topik seputar Islam dalam film.
100% Halal tak diragukan lagi merupakan sinetron gaya MVP seperti yang selama ini telah banyak ditayangkan di TV swasta, yang dipindahkan ke medium layar lebar. Walau beberapa trik filmis diterapkan melalui aspek sinematik, tapi naratif yang telah sedari awal terluka menjadikan film ini lebih baik tayang di layar kaca untuk tujuan edukasi syariat agama Islam semata. Seperti gambar-gambar lanskap beberapa lokasi dan close up dedaunan sebagai transisi, pemilihan setting, efek-efek komedis serta dramatisasi situasi yang digunakan, dan akting para pemainnya tidaklah membantu apa-apa, karena kecacatan naratifnya itu. Bahkan ada banyak shot berisi adegan yang sama sekali tidak penting dan muncul tanpa diharapkan, sebab tak ada kaitannya dengan apa yang tengah diceritakan.
Luka yang sudah dialami pada awal cerita, bukannya berusaha disembuhkan lalu bekasnya dihilangkan melalui naratif yang baik, malah semakin menganga dari plot ke plot, adegan ke adegan, konflik ke konflik. Sejumlah besar adegan bermuatan sindiran pun terkesan sangat dipaksakan sampai-sampai memakan durasi yang panjang. Mulai dari sindiran bertema ajaran agama sampai perilaku manusia, norma, sikap, serta sisi lugu dan polos beberapa tokoh.
100% Halal pada akhirnya menuturkan ceritanya dengan teramat gamblang dan benar-benar berupa tayangan keagamaan yang berusaha menggurui. Banyak adegan verbal di mana-mana, khas sinetron kejar tayang yang selama ini telah menyampah ekosistem pertelevisian dalam negeri. Bahkan kalau seseorang menonton 100% Halal sambil mengalihkan pandangan ke hal lain, ia masih bisa mengetahui setiap adegan dalam film tanpa perlu melihat visualnya. Tak hanya menuturkan konten, konteks, dan pesan-pesan yang sarat nilai Islami, seluruh unsur yang tertuang secara visual pun dijadikan dialog, termasuk iklannya. Tidak ada adegan tanpa dialog. Semuanya diisi dialog. Segala emosi, kegamangan, konflik, pendirian dan pandangan antartokoh dengan tokoh lain hadir dalam bentuk kata-kata.
Tidak ada informasi baru yang patut disimpan dalam ingatan dari 100% Halal, kecuali pengetahuan mengenai relasi antara menikah muda, hamil di luar nikah, dan wali pernikahan. Hanya itulah yang sekiranya memang perlu dipahami oleh segmentasi film ini, serta sebagai semacam kritik terhadap dampak sikap dan pilihan hidup seorang ayah terhadap anaknya. Sayangnya, saking banyak yang ingin disampaikan oleh sang pemilik cerita sekaligus sutradaranya, film ini lebih baik ditayangkan sebatas di saluran televisi dan ditonton oleh segmentasinya saja.
Akhirnyaa.. nemu honest review film ini yang bener-bener objektif. hahaha. Selama ini nemu testimoni yang “sumpah filmnya bagus banget” karena dia fansnya Anisa Cherybelle, ngga peduli filmnya bagus atau nggak asal pemainya idola mereka ya dibilang bagus. hehe. Saya sependapat sama mas nya, cerita dan plotnya jadi ribet dan nggak bikin simpati. Awalnya menarik eh lama-lama bikin drop. Andaikan lebih sederhana seputar Ninis, Akang Putra dan Bapaknya Ninis mungkin agak mendingan. Belum lagi ada jokes gajebo di tengah scene yang kurang tepat. Duh sayang padahal isunya lumayan menarik dan misinya bagus.
Terima kasih banyak atas tanggapannya.
Dan benar mengenai isu, ide cerita, pesan moral, serta misinya, sebetulnya menarik dan bagus. Selain itu juga padahal ada nama-nama yang sudah kawakan di panggung akting, tetapi sangat disayangkan para sineas pula MVP entah bagaimana, terlalu malas untuk memproduksi yang lebih bagus dari ini. Meski bila dilihat dari track record, sebetulnya ada sejumlah film yang lumayan bagus dari company ini.
Terima kasih banyak atas tanggapannya.
Dan benar mengenai isu, ide cerita, pesan moral, serta misinya, sebetulnya menarik dan bagus. Selain itu juga padahal ada nama-nama yang sudah kawakan di panggung akting, tetapi sangat disayangkan para sineas pula MVP entah bagaimana, terlalu malas untuk memproduksi yang lebih bagus dari ini. Meski bila dilihat dari track record, sebetulnya ada sejumlah film yang lumayan bagus dari company ini.