Entah kapan terakhir melihat film aksi berlatar keluarga yang sebrutal ini. Becky menawarkan sesuatu yang sama sekali segar untuk genrenya. Bak John Rambo dalam The Last Blood, seorang gadis cilik mampu melakukannya dengan cara yang tak bakal bisa kita bayangkan. Becky dgarap oleh dua sineas  Jonathan Milott dan Cary Murnion dengan dibintangi, aktris cilik Lulu Wilson dan aktor komedian senior Kevin James. Siapa sangka dua nama ini bermain dalam film brutal macam ini.

Sepeninggal sang ibu, Becky menjadi lebih sensitif dan emosional. Sang ayah pun mengajaknya pergi ke rumah liburan mereka di pinggir danau. Becky pun kembali berang dan mengasingkan diri di pondok kecilnya, tatkala sang ayah mengundang sang pacar yang ingin ia nikahi. Di lain tempat, empat orang tahanan kelas kakap berhasil kabur dari mobil penjara. Tanpa diduga, mereka pun meyambangi rumah berlibur Becky dan menyekap mereka. Becky berupaya menyelamatkan mereka sekaligus bertahan hidup dari para napi yang rupanya tak segan-segan membunuh korbannya.

Boleh dibilang, film ini juga merupakan turunan plot Die Hard. Bahkan masih ada kombinasi dengan plot Rambo dan film balas dendam sadis, I Spit on Your Grave. Kini, bukan lagi sosok laki-laki perkasa atau gadis muda yang membantai para penjahat, namun adalah seorang gadis cilik! Sisi brutalnya yang kelewat sadis membuat saya terkaget-kaget menontonnya. Membayangkan bisa tersaji di medium film pun tidak. Kisahnya sendiri, untuk plot “Die Hard”, sama sekali tak buruk. Pengembangan kisah berjalan solid dan tanpa ada paksaan sejak awal. Momen demi momen berjalan intens dan menegangkan karena para penjahat tak ragu untuk membunuh siapa pun yang menghalangi jalan mereka.

Satu hal yang mencuri perhatian di sini adalah dua bintangnya, Lulu Wilson dan Kevin James. Wilson, seperti kita tahu sudah bermain sensasional dalam dua film horor Ouija: Origin of Evil dan Annabelle: Creation. Sang bintang cilik, yang kini beranjak remaja, semakin menunjukkan talentanya bisa bermain dalam peran apa pun. Entah, apa ini bisa jadi pilihan yang salah bagi sang aktris karena perannya yang kelewat sadis? Kita lihat saja. Sementara Kevin James, kita kenal adalah komedian handal dalam perannya yang sering bermain sebagai sosok halus dan kebapakkan. Siapa sangka dia bisa bermain dalam film di mana ia harus memotong organ tubuhnya dengan tangannya sendiri. Saya bahkan tak sadar jika ini adalah Kevin James hingga kreditnya muncul. Ini sungguh mengejutkan, mirip Uncut Gems yang dibintangi Adam Sandler baru lalu.

Baca Juga  Atomic Blonde

Di luar aksi brutal, plot, dan akting para pemainnya, sisi lain yang mencuri perhatian adalah kemasan visualnya. Beberapa kali film ini menggunakan macth cut (cut beda adegan dengan kontinuitas visual yang sama) dengan sangat inovatif, seperti yang tersaji dalam momen pembuka, yang memotong aksi di sekolah dengan di penjara. Motifnya pun sangat efektif untuk menggambarkan kehidupan Becky yang kini bak di “tahanan” sepeninggal sang ibu. Beberapa kali, sang sineas juga secara brilian menggunakan elemen setting untuk menggambarkan suasana adegan atau mood tokohnya.

Di luar sisi brutal dan sadis yang amat berlebihan, Becky adalah thriller unik bertema keluarga dengan penampilan mengesankan dari Lulu Wilson dan Kevin James serta kemasan estetik unik dari sang sineas. Becky memang bukan satu pencapaian yang istimewa dan 100% orisinal karena semua elemen kisahnya sudah ada sebelumnya. Namun kombinasi plot, akting, dan kemasan estetiknya yang membuat film ini begitu segar dan rasanya bakal menarik perhatian fans genrenya. Film ini memang tidak ditujukan untuk semua orang, dan tentu bukan film ideal untuk tontonan keluarga.

Stay safe and Healthy!

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaInfection
Artikel BerikutnyaArtemis Fowl
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.