Fantasy Island konon merupakan adaptasi dari seri televisi drama fantasi yang populer pada tahun 1977-1984. Produser spesialis horor, Jason Blum melalui tangan sineas Jeff Wadlow mengubahnya menjadi film horor misteri bertajuk sama. Film berbujet US$ 7 juta ini dibintangi oleh Michael Pena, Maggie Q, Lucy Hale, serta Austin Stowell. Berbekal nama sang produser serta popularitas seri televisinya, mampukan film ini mencuri perhatian generasi milineal?
Sekelompok tamu terpilih mendapat liburan istimewa di sebuah pulau bernama Fantasy Island. Awalnya, mereka tidak paham tujuan mereka ke sana selain hanya untuk berlibur. Namun, seperti namanya, pulau ini ternyata sungguhan mampu untuk mewujudkan fantasi terdalam para pengunjungnya. Mr. Roarke, sang bos yang misterius adalah pemilik resor unik ini. Para tamu pun terjebak dalam dunia impian mereka tanpa menyadari bahaya yang mengancam nyawa mereka.
Di awal, disajikan satu adegan pembuka yang tipikal di genrenya yang memberi kesan pada penonton, ke mana arah plotnya bakal berjalan. Namun, semua berubah ketika 5 orang tamu baru tiba di pulau. Kita tahu, sesuatu pasti akan terjadi pada mereka tapi apa? Adegan demi adegan berjalan terus menggugah rasa penasaran dan sempat terbersit apa ini semacam virtual reality? Mau tak mau, kita hanya bisa mengikut alur plotnya yang mengalir terus. Menarik memang tapi sepanjang cerita kita sering kali dicekoki aturan main yang tak jelas, dan ketika sisi absurd mulai muncul, kebingungan semakin menjadi. Alhasil sisi ketegangan tergerus oleh ketidaktahuan dan rasa penasaran kita. Apa semua ini nyata atau ilusi, atau lainnya? Kita semakin tidak peduli. Jika saja mengarah ke ranah fiksi ilmiah, film ini bisa jadi bakal lebih menarik.
Sisi misteri yang memang membuat penasaran didukung kuat oleh “permainan” setting yang menawan. Ruang realita dan “ilusi” membuat film ini terasa seperti “escape room”, namun dalam bentuk berbeda. Dalam satu pintu, kita bisa masuk ke ruang lain dalam dimensi berbeda. Jika saja diproduksi dengan bujet lebih besar dan skala cerita yang lebih luas, film ini rasanya bisa jauh lebih menarik. Level kisah sebrilian Inception masuk dalam pikiran saya. Sayang sekali. Trauma, ketakutan, dan mimpi tiap orang jelas bisa dieksplor jauh lebih dalam dari ini, tidak hanya semata formalitas untuk menakuti penonton.
Dengan aturan main dan plot yang absurd, Fantasy Island tak mampu memberikan apa yang dijanjikan premisnya. Sang kreator tak mampu membuat cerita yang berpotensi ini menjadi lebih menarik dan subtil. Melepas trauma dan rasa bersalah yang menjadi pesan filmnya hanya digali tanggung, dan hasilnya pun setengah-setengah. Pada akhirnya, Fantasy Island hanya merupakan hiburan biasa sebagai pengisi waktu luang tanpa memberi kesan yang membekas.