fantasy island
Fantasy Island (2020)
109 min|Fantasy, Horror, Mystery|14 Feb 2020
4.9Rating: 4.9 / 10 from 60,373 usersMetascore: 22
When the owner and operator of a luxurious island invites a collection of guests to live out their most elaborate fantasies in relative seclusion, chaos quickly descends.

Fantasy Island konon merupakan adaptasi dari seri televisi drama fantasi yang populer pada tahun 1977-1984. Produser spesialis horor, Jason Blum melalui tangan sineas Jeff Wadlow mengubahnya menjadi film horor misteri bertajuk sama. Film berbujet US$ 7 juta ini dibintangi oleh Michael Pena, Maggie Q, Lucy Hale, serta Austin Stowell. Berbekal nama sang produser serta popularitas seri televisinya, mampukan film ini mencuri perhatian generasi milineal?

Sekelompok tamu terpilih mendapat liburan istimewa di sebuah pulau bernama Fantasy Island. Awalnya, mereka tidak paham tujuan mereka ke sana selain hanya untuk berlibur. Namun, seperti namanya, pulau ini ternyata sungguhan mampu untuk mewujudkan fantasi terdalam para pengunjungnya. Mr. Roarke, sang bos yang misterius adalah pemilik resor unik ini. Para tamu pun terjebak dalam dunia impian mereka tanpa menyadari bahaya yang mengancam nyawa mereka.

Di awal, disajikan satu adegan pembuka yang tipikal di genrenya yang memberi kesan pada penonton, ke mana arah plotnya bakal berjalan. Namun, semua berubah ketika 5 orang tamu baru tiba di pulau. Kita tahu, sesuatu pasti akan terjadi pada mereka tapi apa? Adegan demi adegan berjalan terus menggugah rasa penasaran dan sempat terbersit apa ini semacam virtual reality? Mau tak mau, kita hanya bisa mengikut alur plotnya yang mengalir terus. Menarik memang tapi sepanjang cerita kita sering kali dicekoki aturan main yang tak jelas, dan ketika sisi absurd mulai muncul, kebingungan semakin menjadi. Alhasil sisi ketegangan tergerus oleh ketidaktahuan dan rasa penasaran kita. Apa semua ini nyata atau ilusi, atau lainnya? Kita semakin tidak peduli. Jika saja mengarah ke ranah fiksi ilmiah, film ini bisa jadi bakal lebih menarik.

Baca Juga  Night Teeth

Sisi misteri yang memang membuat penasaran didukung kuat oleh “permainan” setting yang menawan. Ruang realita dan “ilusi” membuat film ini terasa seperti “escape room”, namun dalam bentuk berbeda. Dalam satu pintu, kita bisa masuk ke ruang lain dalam dimensi berbeda. Jika saja diproduksi dengan bujet lebih besar dan skala cerita yang lebih luas, film ini rasanya bisa jauh lebih menarik. Level kisah sebrilian Inception masuk dalam pikiran saya. Sayang sekali. Trauma, ketakutan, dan mimpi tiap orang jelas bisa dieksplor jauh lebih dalam dari ini, tidak hanya semata formalitas untuk menakuti penonton.

Dengan aturan main dan plot yang absurd, Fantasy Island tak mampu memberikan apa yang dijanjikan premisnya. Sang kreator tak mampu membuat cerita yang berpotensi ini menjadi lebih menarik dan subtil. Melepas trauma dan rasa bersalah yang menjadi pesan filmnya hanya digali tanggung, dan hasilnya pun setengah-setengah. Pada akhirnya, Fantasy Island hanya merupakan hiburan biasa sebagai pengisi waktu luang tanpa memberi kesan yang membekas.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaNikah Yuk!
Artikel BerikutnyaMilea: Suara dari Dilan
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.