Film-film unggulan Oscar mulai rilis di akhir tahun ini, dan Mank adalah salah satu kandidat terbesarnya. Mank adalah film arahan sineas kawakan David Fincher yang mengisahkan backgorund proses penulisan naskah film Citizen Kane yang hingga kini dianggap film “sinematik” terbaik sepanjang masa. Film ini ditulis sendiri naskahnya oleh ayah sang sineas, Jack Fincher, tiga puluh tahun lalu. Film yang dirilis Netflix ini dibintangi beberapa aktor-aktris ternama, Gary Oldman, Amanda Seyfried, Lily Collins, dan Charles Dance. Bagaimana peluang Mank di ajang Academy Awards tahun depan?

Penulis naskah Hollywood ternama, Herman Jacob Mankiewicz mendapat kepercayaan untuk menulis naskah yang kelak akan disutradarai oleh debutan jenius, Orson Welles. Herman diberi waktu dua-tiga bulan untuk menyelesaikan naskahnya di tengah kondisi kakinya yang patah akibat kecelakaan mobil. Di tempat pengasingan barunya, ia ditemani oleh sang sekretaris, Rita Alexander. Sepanjang plotnya  didominasi oleh kilas-balik di mana momen-momen tersebut memengaruhi Herman dalam menulis karya terbaik sepanjang karirnya.

Ringkasan plot di atas tampak sederhana, namun kisah filmnya 100% tidak. Plot filmnya amat rumit dan kompleks. Sebagai permulaan, bagi penonton yang belum pernah menonton Citizen Kane dan punya sedikit background pengetahuan tentang industri Hollywood klasik rasanya bakal kebingungan untuk mencerna kisah filmnya. Mank bukan film yang mudah untuk banyak orang atau bahkan penikmat film.

Film ini bukan tentang sang jenius Orson Welles dan kekayaan estetik Citizen Kane, namun adalah bagaimana naskah film brilian ini dibuat. Apa yang Herman tahu, lihat, dengar, dan ia rasakan, semuanya memengaruhi rincian naskah filmnya. Naskah yang ia tulis adalah metafora semua itu. Bukan hanya tentang William Randolph Hearst yang menjadi sosok “antagonis” utama dalam naskahnya, namun segalanya, termasuk sang putri milyuner (Marion), para petinggi studio, koleganya, sikap politiknya, Orson Welles, bahkan hingga sang sekretaris yang ia kutip namanya untuk salah satu karakter dalam filmnya.

Mustahil untuk bisa memahami film ini tanpa menonton Citizen Kane. Padahal, Kane sendiri bukan film yang mudah untuk dicerna. Tonton film ini, untuk bisa memahami betapa briliannya naskah Mank. Kita bahkan belum bicara tentang pencapaian estetiknya. Mank dan Citizen Kane tidak bisa dipisahnya.

Naskah Mank didominasi kilas-balik yang adalah pula merupakan tribute Citizen Kane yang menggunakan mekanisme alur plot yang sama. Semua kilas-balik dalam Mank adalah pula refleksi kisah dalam Citizen Kane. Satu contoh sederhana adalah satu rangkaian adegan dialog Herman dan Marion di rumah super mewah Hearst. Perjalanan kecil mereka di taman istana yang berisi hewan-hewan raksasa peliharaan sang milyuner, sudah memberikan ide kecil bagi Herman untuk memasukkannya dalam pembukaan Kane; atau dialog tegangnya dengan Welles yang memberikan ide satu adegan ikonik dalam Kane di mana sang karakter mengobrak-abrik satu ruangan kamar, dan masih banyak contoh lainnya. Bicara dialog, speechless, ini adalah salah satu yang terbaik dan tercerdas pada beberapa dekade terakhir dalam medium film.

Baca Juga  Night at The Museum: Battle of the Smithsonian

Naskahnya yang brilian diimbangi pula oleh sisi estetiknya yang elegan. Setting, kostum, sinematografi semuanya dikemas amat baik. Shot-shot-nya adalah unik. Dengan menggunakan warna hitam putih, film ini disajikan layaknya kita menonton film klasik, atau lebih khusus Citizen Kane. Seperti halnya Kane, sang sineas beberapa kali menggunakan teknik deep focus, low-angle dengan komposisi solid yang penuh, cahaya gelap terang yang kontras, tanpa terlihat sebagai tempelan estetik film tribute-nya. Fincher juga menampilkan satu montage klasik dengan menawan. Bicara akting, kastingnya adalah sempurna dengan menggunakan gaya dialog khas era tersebut tanpa terlihat teatrikal. Sementara Oldman, wow, speechless. Mau bilang apa lagi, Piala Oscar untuk aktor terbaik seperti seolah sudah ditangannya.

Tak ada keraguan, Mank adalah karya masterpiece David Fincher, baik naskah maupun estetik. Mank mampu menyajikan sosok di balik layar pembuatan naskah film terbaik sepanjang masa (Citizen Kane) dengan naskah, akting, dan gaya berkelas melalui tribute filmnya sendiri. Satu hal yang menarik dicatat, film ini ternyata juga mampu merefleksikan situasi di politik di AS terkini yang tengah panas-panasnya. Ketika salah seorang rekan Herman membuat film “iklan kampanye palsu” untuk partai Republik (baca: Donald Trump), ia bertanya, “ Bagaimana, kamu pikir mereka bakal termakan (bualan) film ini?”. Herman menjawab, “Hanya orang yang percaya King Kong adalah benar-benar setinggi 40 kaki dan Mary Pickford (aktris superstar era film bisu) masih perawan di usia 40 tahun”. Mank for Oscar’s Best Picture? So far, 100%.

Stay safe and Healthy!

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaHonest Thief
Artikel BerikutnyaTenet
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.