Monsters of Man (2020)
131 min|Action, Sci-Fi, Thriller|25 Dec 2020
5.4Rating: 5.4 / 10 from 8,338 usersMetascore: N/A
A US weapons manufacturer tests its 4 killer robots on heroin producers in the Golden Triangle in SEAsia. It goes haywire.

Monsters of Human adalah film fiksi ilmiah independen yang naskahnya juga digarap oleh sang sineas, Mark Toia. Penata kamera pun dipegang oleh sang sutradara sendiri. Film ini dibintangi nama-nama asing, terkecuali Neil McDonough yang seringkali kita lihat berperan sebagai sosok antagonis di film-film mapan. Film ini konon didanai dari sumbangan publik melalui website indiegogo.com. Tak banyak ekspektasi, namun di luar dugaan film ini mampu menunjukkan keterampilan sang sineas dalam mengolah adegan aksi dan ketegangan dengan segala keterbatasannya.

Perang perusahaan robot AI untuk militer kini tengah panas-panasnya. Salah satu perusahaan robot melakukan uji coba dengan mengirim empat robot terbarunya ke suatu wilayah pedalaman di Thailand yang disinyalir sebagai sarang perdagangan obat terlarang. Tak diduga, misi berbelok arah ketika satu robot mengalami malfungsi dan di lokasi pemukiman tersebut ternyata terdapat tujuh orang dokter muda asal AS dalam sebuah misi kemanusiaan dan satu orang mantan Navy Seal.

Ide kisahnya memang menarik, namun pengembangan plotnya begitu buruk. Tapi entah mengapa, film ini menarik untuk diikuti dengan sedikit harapan kejutan-kejutan kecil bakal terjadi. Nyatanya tidak. Plotnya bolak-balik ke kanan-kiri menggambarkan belasan karakternya yang membuat arah kisahnya seperti tak fokus. Bertahan hidup dari kejaran para robot sudah sering kita jumpai dan banyak film jauh lebih baik dari ini. Satu aspek cerita menarik di mana satu robot mencoba mencari eksistensi dirinya, sayangnya tidak mampu dieksplor lebih dalam. Hasilnya, film ini terasa tidak memiliki tujuan dan pesan yang kuat, pointless, selain hanya berlarian di hutan sementara di sisi yang berbeda para ilmuwan lugu diintimidasi oleh bos mereka. Hanya ini. Sepanjang film, satu opsi cerita lain membayang kuat yang punya potensi sebagai salah satu film fiksi ilmiah terbaik.

Baca Juga  Mulan

Satu sisi yang jarang ada di film-film sejenis adalah level kebrutalannya. Mustahil dalam film-film mainstream kita menonton seorang anak dan ibunya ditembak begitu sadis dalam film. Tak enak untuk dilihat tapi sense realitas terasa lebih kuat. Ini juga didukung oleh CGI yang tak buruk untuk level bujetnya. Walau jelas para robot disajikan dengan teknik animasi tapi keberadaan mereka terasa begitu nyata dan mengancam. Jika saja bujetnya lebih, rasanya film ini secara teknis bisa jauh lebih baik.

Di balik kebrutalan dan kisahnya yang pointless, Monsters of Human memiliki potensi cerita segar untuk genrenya. Jika saja naskahnya digarap lebih sabar, film ini bisa bersaing dengan film-film besar fiksi ilmiah lainnya. Terdapat satu momen memorable. Walau tak nyaman dilihat, adegan berkesan adalah ketika sang robot menganalisa organ manusia dengan membedah tubuhnya untuk mencari tahu eksistensi dirinya. Sang robot bahkan mengiris kulit wajah sang korban dan berkaca di cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Jika film ini digarap lebih mapan, bisa jadi adalah salah satu adegan terbaik sepanjang masa untuk genrenya.

Stay safe and Healthy!

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaThe Sound of Metal
Artikel BerikutnyaSafety
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.