Diam adalah sebuah hak kemewahan milik mereka yang sudah tidak ada. Sosok Anggi Frisca telah umum dikenal malang melintang sebagai pengarah sinematografi selama ini, serta membuat film dokumenter Negeri Dongeng pada 2017 lalu. Kali ini, ia kembali menjajal kursi sutradara melalui film fiksi drama perjalanan berjudul Nona, dengan skenario yang ditulis oleh Monty Tiwa (penulis Mahasiswi Baru, Pocong The Origin, dan Critical Eleven). Film yang juga mengandung unsur road movie ini diproduksi dalam kerja sama antara Citra Sinema, MD Pictures, serta tentu saja Aksa Bumi Langit yang dulu menaungi pembuatan Negeri Dongeng. Para pemerannya, antara lain Nadya Arina, Augie Fantinus, Tio Pakusadewo, Nadine Chandrawinata, Rangga Wahyu Natra, dan Medina Kamil. Mengingat debut sebagai sutradara film fiksi panjang baru dilakukan Anggi pada film ini, akankah perjalanan karirnya selama ini mendominasi keseluruhan visual film?

Persahabatan antara Nona (Nadya Arina) dan Ogy (Augie Fantinus) yang telah terjalin semenjak masih kecil, menemui kecanggungan saat Nona mulai akrab dengan Steve (Rangga Wahyu Natra). Jarak dan keengganan untuk berkata jujur satu sama lain kian merenggangkan komunikasi keduanya. Namun ketika Nona menyadari pentingnya mengambil sikap untuk segera mengakhiri aksi saling diam di antara mereka, kehendaknya harus kandas sama sekali sebab suatu peristiwa fatal malah menimpa Ogy Guncangan batin yang kemudian dialami Nona berlarut-larut menyesakkan dadanya, sampai muncul secercah harapan untuk melegakan perasaannya. Nona harus memulai sebuah perjalanan penebusan kesalahan, dengan cara mewujudkan mimpi Ogy ke suatu tempat yang benar-benar asing baginya.

Ternyata sesuai dugaan, gambar-gambarnya dokumenter banget dengan lebih banyak shot luas. Setting lokasi yang dipakai pun berupa alam bebas, demi memenuhi kebutuhan terhadap keberadaan pemandangan alam, terutama pegunungan dan ketinggiannya. Malahan, terhitung ada lebih dari separuh film ini berisi adegan-adegan yang dilakukan di lokasi ketinggian, dan mengarahkan filmnya sendiri menjadi road movie atau bertemakan perjalanan. Tak hanya latar pemandangan alam, lanskap kota dengan jalanan, rumah, dan toko-tokonya, bangunan lain diambil pula menggunakan gaya-gaya dokumenter. Tak ayal bila kemudian ada kesan “seperti menonton film dokumenter, tapi bercerita fiksi” usai menonton Nona.

Kasus semacam ini memang jamak terjadi. Kebanyakan film yang mengalaminya, disutradarai oleh orang-orang yang terbiasa mengerjakan departemen lain, baik pengarah artistik maupun pengarah sinematografi. Kali ini yang terjadi adalah sebuah film fiksi diarahkan oleh seseorang dengan catatan sebagai pembuat film dokumenter berjudul Negeri Dongeng. Bahkan selama ini, ia lebih banyak terlibat sebagai penata gambar, seperti dalam Imperfect, Sekala Niskala, dan Night Bus.

Masih menyoal perkara yang sama, saat perpindahan jabatan seperti ini terjadi pun acapkali sang sutradara tak bisa mengimbangi kreasi sinematik film dengan naratif yang baik. Memang tak jadi soal bila keahlian dari jabatan sebelumnya dijadikan ciri khas yang begitu menonjol, tapi bukan berarti mengabaikan begitu saja aspek penceritaannya. Alhasil, lahirlah film seperti Abracadabra yang hanya kuat pada unsur artistiknya semata, tetapi naratifnya lemah. Adapula yang semacam Dilan dan Koboy Kampus, dengan penuturan cerita yang masih berbau novel alih-alih telah sesuai dengan medium barunya (film), karena pemilik ceritanya ikut ‘nimbrung‘ dalam kerja penyutradaraan. Setidaknya 3 film ini yang masih belum usang dari ingatan baru-baru ini.

Baca Juga  Serigala Terakhir, Mau Bicara Soal Gaya

Adanya bayang-bayang ini selalu menjadi momok atau pisau bermata dua, bagi sineas yang seolah hendak menjajal jabatan baru demi menambah pengalamannya, sambil menyertakan kreasinya sendiri agar seakan-akan film buatannya memiliki ciri khas. Beruntung, Nona bisa dibilang berhasil menghindarkan diri dari bahaya ketimpangan naratif dan sinematik yang mengancam keseluruhan wajah film. Kendati tak dapat dipungkiri aspek visualnya tetap terasa dominan, tapi terdapat upaya yang baik dari segi cerita (terutama plot terakhir) dan kemampuan akting Nadya Arina.

Nadya Arina sendiri mampu membawakan perannya sebagai tokoh utama dengan karakteristik psikologis penuh trauma, mulai dari saat masih kecil sampai harus kehilangan sahabatnya. Aktingnya benar-benar menunjukkan sesosok perempuan yang frustasi dan stres karena beban dari beragam trauma itu. Perannya terus mengaduk-aduk emosi dalam cerita, tak jarang pula sampai membuat geregetan, dan menjaganya hingga film usai.

Tadinya, Nona terkesan biasa-biasa saja karena lebih menonjolkan keindahan visual dengan dominasi berlebihan dari pemandangan alam di dataran tinggi yang nyatanya tak sepenuhnya demikian.  Seolah aspek naratiflah yang dipaksakan agar cocok mengikuti keinginan sinematik melalui gambar-gambarnya. Namun, ternyata ada satu plot yang mengobati ‘memar-memar’ ini, dan menutup beberapa celah yang tersisa dengan keintiman dan kehangatan satu keluarga kecil bersama tokoh utama. Plot ini pun menjadi penutup yang manis bagi segala macam kekurangan film ini, beserta segenap pesan yang ingin disampaikan oleh sang sineas tentang “makna perjalanan”.

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel Sebelumnya100% Halal
Artikel BerikutnyaHunter Hunter
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.