Shadow in the Cloud adalah film perang-horor garapan Roseane Liang yang dibintangi oleh Chloe Grace Moretz. Film ini merupakan garapan patungan studio produksi AS dan New Zealand. Shadow in the Cloud juga diputar pertama kali dalam ajang Toronto International Film Festival 2020 bulan September lalu. Sepertinya, baru kali ini sebuah film mengkombinasi banyak genre dan tema, perang, horor, fantasi, filmnoir, feminisme, hingga aksi yang teramat konyol.
Kisah filmnya ber-setting Perang Dunia II. Alkisah Maude Garret (Morretz) adalah seorang perwira angkatan udara yang mendapat misi untuk membawa paket rahasia dengan menumpang pesawat tempur yang menuju New Zealand. Satu-satunya tempat duduk yang tersisa hanyalah kubah tempur yang terletak di bagian bawah pesawat. Tak lama setelah tinggal landas, Maude melihat ada sesosok yang merayap di bagian luar pesawat dan teror pun dimulai.
Wow luar biasa. Boleh dibilang Shadow adalah salah satu pengalaman estetik terunik sekaligus terkonyol yang pernah saya alami selama menonton film. Pendekatan cerita hanya dibatasi melalui perspektif Maude seorang, di mana mata kamera tak pernah lepas dari sosok karakter ini. Selama lebih dari separuh film, kita bisa merasakan betapa tidak nyamannya Maude di bawah sana, terjebak di ruang sempit berketinggian ribuan meter dengan bahaya sewaktu-waktu menanti, baik dari sosok “gremlin” maupun pesawat musuh. Ini memang banyak mengingatkan pada film thriller Buried yang tokohnya terjebak di peti mati, namun dalam Shadow, sisi horor dan ketegangan memadu maksimal. Sungguh ekstrem!
Pendekatan estetik yang demikian unik ternyata tidak berimbang dengan kekonyolan adegan aksinya. Seberapa kuat sih daya tahan tubuh manusia jika harus bergelantungan dan merayap di badan pesawat pada ketinggian ribuan meter? Sosok Ethan Hunt (Tom Cruise) saja harus bersusah payah melakukan ini di seri Mission Impossible. Ya, bisa dimaklumi motifnya tapi bukan begini caranya untuk menggambarkan sosok perempuan tangguh, seolah Maude masih turunan suku Amazon. Amat disayangkan, mengapa harus sekonyol ini?
Kombinasi genre langka dengan pendekatan estetik dan penceritaan yang unik, namun Shadow in the Cloud memiliki masalah dengan adegan aksinya yang teramat konyol. Jika saja aksinya tidak seperti ini, Shadow bisa memiliki poin maksimal karena kombinasi genrenya yang teramat segar. Bahkan pendekatan estetik filmnoir pun bisa disisipi dengan mengesankan pada paruh durasi awal. Film ini bisa menjadi satu contoh kasus kajian studi genre yang sempurna. Menonton film ini memiliki rasa campur aduk di antara kejutan dan kebodohan sinematiknya.
Stay safe and Healthy!