We Can Be Heroes adalah film superhero yang masih satu semesta cerita dengan The Adventure of Sharkboy and the Lava Girl (2005) arahan Robert Rodriguez. Heroes kembali digarap oleh sang sineas dengan didukung nama-nama besar, seperti Priyanka Chopra, Pedro Pascal, Christian Slater, Boyd Holbrock, hingga Sung Kang. Namun, bintang-bintang utama sesungguhnya adalah aktor-aktor cilik yang sebagian besar belum banyak dikenal. Seperti kebanyakan filmnya, Rodriguez juga bertindak sebagai produser, penulis, penata kamera, editor, hingga pembuat musik. Film ini dirilis Netflix untuk mengisi liburan akhir tahun.

Alkisah, bumi diserang mahluk asing dan para superhero disiapkan untuk menghadapi ini, diantaranya Miracle Guy, Tech-No, Sharkboy, Lava Girl, Blinding Fast, serta Marcus Moreno. Tak disangka, mereka semua dapat dilumpuhkan dengan mudahnya. Putra dan putri mereka yang juga mewarisi kekuatan super, antara lain Missy Moreno, Wheels, Noodles, Guppy, Ojo, Slo-Mo, serta lainnya bekerja sama untuk menyelamatkan orang tua mereka sebelum malapetaka besar terjadi di bumi.

Entah problem bujet atau memang sengaja dibuat bergaya seperti ini, sungguh tidak bisa dimengerti. Ya benar, film ini memang untuk anak-anak, tak perlu terlalu serius, tapi ini kelewatan. Anak-anak sekarang sudah akrab dengan film-film animasi berkelas produksi Disney, Pixar, Dreamworks hingga film-film superhero Marvel dan DC, apa mungkin bisa menikmati film macam ini? Jika balita mungkin ya. Segala aspek yang ada di dalam film ini dibuat seadanya, dari naskah, pengadeganan, dialog, akting, hingga efek visual. Semua serba absurd dan seolah hanya dibuat untuk menghibur penonton balita. Mengapa sih harus dibuat begini buruk?

Dengan talenta sineas dan kastingnya, We Can Be Heroes sesungguhnya tidak perlu dibuat begini konyol sekalipun bisa ditonton target genrenya. Jika 15 tahun yang lalu, Sharkboy and Lava Girl, bisa dipahami jika film bergaya “murah” seperti ini dibuat, tapi sekarang? Beberapa waktu lalu, Rodriguez juga mengarahkan seri final Mandalorian yang merupakan film terbaik di antara episode lainnya. Ke mana sineas yang pernah menggarap film-film berkelas macam El Mariachi, From Dusk till Dawn, dan Sin City?

Stay safe and Healthy!

Baca Juga  Pieces of a Woman

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaThe Climb
Artikel BerikutnyaSylvie’s Love
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.