Gemini Man (2019)
117 min|Action, Sci-Fi, Thriller|11 Oct 2019
5.7Rating: 5.7 / 10 from 126,129 usersMetascore: 38
An over-the-hill hitman faces off against a younger clone of himself.

Duet sineas kenamaan Ang Lee dan aktor sebesar Will Smith rasanya bakal menjanjikan sebuah sajian film yang menarik melalui Gemini Man. Konon kabarnya, sudah lebih dari dua dekade lalu mengalami pengembangan naskahnya, namun selalu gagal dengan banyak sineas maupun aktor papan atas, melekat pada proyek film ini. Setelah sekian lama, film ini akhirnya diproduksi oleh produser kenamaan Jerry Bruckheimer dengan menggandeng pula bintang-bintang top, seperti Mary Elizabeth Winstead, Clive Owen, serta Benedict Wong. Dengan berbekal bujet USD 138 juta, mampukah film ini menyamai nama besar sang sineas dan aktornya?

Alkisah Henry Brogan (Smith) adalah pembunuh bayaran senior terbaik dari suatu lembaga rahasia milik pemerintah AS. Setelah misi terakhirnya, Henry berniat untuk pensiun. Tak disangka-sangka, Ia justru menjadi buron lembaga kantornya dengan alasan yang tak jelas. Semua rekannya yang pernah terlibat dengannya dibunuh satu persatu. Dalam usaha penyelidikan, ia justru menjadi target seorang pembunuh bayaran tangguh yang ternyata adalah versi muda dari dirinya sendiri.

Tak jelas, mengapa film ini baru diproduksi sekarangi. Iya memang, film ini membutuhkan rekayasa digital yang canggih untuk membuat versi muda Will Smith, namun untuk membuat kembaran aktor Van Demme (Double Impact) nyaris tiga dekade silam, tak perlu susah-susah menggunakan CGI. Naskahnya jelas sudah terlalu “kuno” untuk penonton masa kini. Tak butuh penikmat film sejati, semua pengembangan alur plotnya tak sulit untuk diprediksi sejak awal hingga akhir cerita. Ada kejutan kecil di akhir pun sudah terlambat dan tak ada gigitan berarti. Dialog yang tersaji seringkali terlalu panjang dan bertele-tele. Nyaris semua adegannya seolah tak punya ruh. Singkatnya, film ini terlalu membosankan dan satu adegan aksi seru panjang di tengah film pun, jelas tak mampu mengangkat filmnya.

Baca Juga  The Commuter

Lantas bagaimana dengan pencapaian CGI? Film ini rasanya memang kali pertama menampilkan versi muda sang bintang dengan porsi waktu tayang yang lama. Hasil rekayasa digitalnya pun sama sekali tak buruk dan terlihat natural. Namun, ini jelas bukan yang pertama kali dilakukan. Tron, The Curse of Benjamin Button, serta beberapa film Marvel Cinematic Universe (MCU), juga melakukannya walau porsi tayangnya tak banyak. Ini jelas membuka peluang untuk memproduksi film dengan bintang-bintang yang sudah uzur atau bahkan telah meninggal. Sebagai penikmat film klasik, siapa tahu sosok aktor-aktris besar, macam Humphery Bogart, Chalie Chaplin, Cary Grant, James Stewart, atau Marilyn Monroe bisa kembali dihidupkan.

Untuk standar sineas dan aktor sekelas Ang Lee dan Will Smith, Gemini Man adalah serasa film medioker dengan capaian naskah buruk dengan beberapa momen aksi dan CGI yang lumayan. Rasanya sulit, film ini untuk mencapai sukses komersial (dengan bujetnya), walau bisa jadi tertolong nama besar Smith. Gemini Man sebenarnya bukan film yang buruk, namun masalahnya sudah banyak film sejenis yang jauh lebih baik dari ini, sebut saja seri Bourne salah satunya. Ang Lee yang kita kenal sentuhan magisnya dalam film-film berkelas, macam Crouching Tiger Hidden Dragon dan Life of Pi, tak lagi tampak di film ini. Sementara Smith, di luar sukses luar biasa Alladin (yang tertolong CGI), film-film yang dibintanginya sudah tak lagi sekuat beberapa dekade silam.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaBebas
Artikel BerikutnyaSIN
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.