Hellbender adalah film horor supernatural arahan John Adams, Zelda Adams, dan Toby Poser. Penulis naskahnya adalah juga mereka bertiga yang uniknya Zelda Adams dan Toby Poser pun bermain sebagai tokoh utama. Film ini dirilis secara eksklusif oleh platform khusus horor Shudder. John Addams sebelumnya juga telah membuat dua film pendek berdurasi 2 menit yang punya relasi cerita dan estetik dengan film ini. Cerita film yang dibuat secara literal oleh “Adams Family” ini sebenarnya bukan hal baru, namun adalah pendekatan estetiknya yang terbilang unik.

Film dibuka dengan adegan kilas balik yang memperlihatkan bagaimana seorang penyihir digantung yang disajikan secara brutal. Di masa kini, Izzy (Zelda) dan ibunya (Poser) tinggal di sebuah rumah terisolir di tengah hutan. Lantas apa hubungannya dengan adegan pembuka? Dikisahkan penyihir yang digantung ternyata adalah nenek dari Izzy yang ini berarti ia dan ibunya masih memiliki kemampuan sang nenek. Sepanjang film dikisahkan bagaimana sang ibu berusaha melindungi putrinya agar terlindungi dari dunia luar. Suatu hari, Izzy bertemu dengan seorang gadis seumurnya yang mengenalkannya pada dunia luar yang penuh pesona.

Growing up is hell” menjadi tagline dalam posternya. Semakin remaja dikekang semakin pula ia melawan. Ini menjadi inti pesan kisahnya. Pesan simpel ini dikemas melalui kisah yang brilian dengan pendekatan horor-supernatural. Siapa yang salah (antagonis) dan siapa yang benar (protagonis)? Pertanyaan ini dijawab sendiri dalam dialog dalam satu adegannya. Penikmat film sejati rasanya tak sulit untuk menebak siapa sebenarnya “serigala” dalam filmnya? Kisah sederhana yang dikemas kompleks ini secara unik didukung oleh pencapaian estetiknya yang amat absurd.

Baca Juga  Johnny English Strikes Again

Menonton Hellbender banyak mengingatkan pada Persona (1966) karya masterpiece sineas legendaris Swedia, Ingmar Bergman. Sepanjang filmnya banyak menggunakan insert (sisipan shot) absurd yang bernuansa alam mimpi. Teknik ini bekerja sempurna untuk mendukung kisahnya yang memang absurd. Beberapa shot yang menjadi style Bergman seringkali tersaji dalam filmnya melalui kombinasi komposisi terukur dan close up. Coba lihat satu contoh shot cuplikan adegan di atas, terlihat sentuhan “Bergman” di sana. Butuh analisa lebih panjang untuk hanya membahas ini. Di luar kisahnya yang aneh, sajian visualnya memang satu tontonan yang enak untuk dinikmati.

Hellbender adalah film horor fantasi langka dengan sentuhan estetik sineas yang unik dan absurd. Sang tiga sineasnya tampak sekali memiliki talenta yang tidak bisa dianggap remeh. Sentuhan mereka juga mengingatkan banyak pada Ari Aster (Hereditary, Midsommar) dan Robert Eggers (The Witch) yang menyumbang pendekatan baru ke genre horor-supernatural. Mereka semua mampu membuktikan bahwa genre horor masih mampu dieksplorasi lebih jauh ke melalui sisi psikologis dengan pesan relevan yang terjadi di sekitar kita.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaThe Weekend Away
Artikel BerikutnyaNightride
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

1 TANGGAPAN

  1. Penasaran, tapi tone-nya terlihat seperti tayangan layar kaca (Shudder?) daripada layar perak. Mengingatkan pada kasus film Wiro Sableng.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses