Anggy Umbara, sutradara yang rajin berkarya dengan kualitas seadanya (kebanyakan), kali ini datang bersama film thriller –yang dibuat dalam serangkai trilogi, katanya. Diawali dengan I, film drama psikologis dan kriminal dengan sedikit elemen thriller ini tampaknya ditulis sendiri pula olehnya. Film yang diproduksi atas kerja sama PT Umbara Brothers Film dan KlikFilm Productions (sekaligus menangani penayangannya) ini, diperankan oleh Onadio Leonardo –yang memulai debutnya melalui film komedi Pretty Boys, serta dua pendatang baru, Omar Daniel dan Amanda Rigby. Melihat skenario yang dikerjakannya sendiri serta keterlibatan medium yang mewadahi penayangannya di ranah produksi, bagaimana jadinya film ini (dan dua film sesudahnya)?
Hilangnya Mila (Amanda Rigby) istri Sanjaya (Omar Daniel) selama lebih dari enam bulan membebani psikis sang suami. Dia pun kerap menuangkan kekesalannya terhadap kinerja kepolisian kepada keluarganya sendiri juga teman-teman di kantornya. Sanjaya merupakan sosok yang pada dasarnya sangat menentang ketidakadilan terhadap HAM, hingga dijuluki sebagai social justice warrior oleh teman kantornya. Dia juga mengutuk setiap aksi dari mereka yang menewaskan banyak orang berdasarkan perintah atasan. Namun suatu ketika, dia dihadapkan pada pilihan tindakan yang sama sekali berlawanan dengan idealismenya selama ini, saat muncul sebuah ide gila yang berkaitan dengan “martir”.
I dibuka dengan dialog empat mata yang bertele-tele. Aspek dialog ini memang acapkali berada di posisi yang riskan. Kekuatannya bergantung pada siapa yang mengucapkan, cara atau gaya pengucapan, tekanan, momen yang sedang berlangsung, motivasi adegan, hingga diksinya. Sepanjang film pun keberadaan sejumlah dialog tak jarang menahan penonton pada satu adegan yang malah jadi terlalu lama. Padahal topik utama yang ingin disampaikan tidaklah banyak, sementara hal-hal yang diperbincangkan berulang-ulang rasanya jadi terlalu muluk-muluk. Tak ayal kalau sampai tebersit pertanyaan, sebenarnya apa yang ingin ditunjukkan oleh film ini dengan ‘menuangkan’ banyak sekali pembahasan?
Meski disebut sebagai film thriller, I cenderung terasa seperti drama psikologis dan kriminal. I mengganti banyak aspek yang biasa ada dalam thriller menjadi kata-kata, dan terus “mencekoki” penonton dengan semua itu di sepanjang film. Memang bagus upaya sang pembuat dalam membawakan isu-isu pelanggaran HAM, kekerasan fisik, dan kriminalitas lainnya, baik yang terjadi jauh pada masa lalu maupun yang berlangsung baru-baru ini. Meskipun, banyak di antaranya sekadar muncul lewat dialog obrolan yang teramat panjang, sementara poinnya kurang dari setengahnya. Inilah yang mereduksi sensasi thriller-nya jadi kurang terasa kuat. Adegannya mandeg dengan durasi yang panjang dan isinya cuma percakapan, ditambah konsep penceritaannya pun terbatas. Terlalu banyak yang ingin pembuat film ini sampaikan, sehingga mengakibatkan thriller-nya kabur. Porsinya begitu tipis untuk mampu mencuri perhatian.
Faktor berikutnya yang menyebabkan sensasi thriller dalam I menjadi kabur selain dari dialog muluk-muluknya adalah shot. Coba bayangkan saja ketika unsur-unsur yang semestinya menunjang thriller, keberadaannya minim karena masih terikat dengan drama. Alih-alih menghasilkan adegan filmis, yang muncul malah tampilan-tampilan ala sinema televisi. Mungkinkah ini disebabkan oleh batasan dari pihak medium yang menayangkannya?
Memang benar, I bermain bagus dalam mengolah pencahayaan untuk beberapa adegan yang hendak menunjukkan perubahan karakter dari sang tokoh utama. Akting Omar Daniel sebagai tokoh tersebut pun adalah yang paling baik ketimbang semua pemeran lain dalam film ini. Beberapa clue juga diberikan untuk memancing beragam dugaan dari penonton. Kendati sesaat kemudian ini justru menjadi bumerang, karena tak sedikit informasi yang tadinya tertutup rapat mulai mudah ditebak. Yang menanti selanjutnya ialah tinggal kapan serentetan tebakan itu terjadi.
Ihwal tokoh utama ini pula, perubahan karakternya sangat aneh di momen menjelang film ini selesai. Sejenak bertingkah seperti seorang psikopat yang menunggu momen yang tepat untuk melakukan aksi, tetapi sesaat kemudian dipenuhi keraguan. Kompas moralnya menjadikan tindakan, pemikiran, keyakinan, dan idealismenya saling berparadoks, tak pernah menentu, dan kerap kali menimbulkan pertanyaan. Bahkan sampai akhir film pun, perkembangan karakterisasi sang tokoh utama yang terombang-ambing ini tak benar-benar jelas ujungnya.
Walau eksekusi secara keseluruhan film tidaklah buruk-buruk amat, namun bila berbicara dari segi thriller-nya saja, I jelas tak lebih baik ketimbang Affliction atau bahkan jauh di bawah The East. Jangan Sendirian yang tampak payah dalam memerhatikan detail-detailnya pun masih mengungguli I dalam hal thriller. Lantas, bagaimana dengan dua film setelah ini? Mungkinkah gembar-gembor sebutan “trilogi thriller” yang telah beredar luas beberapa hari belakangan, sebenarnya hanya ungkapan hiperbolis belaka?