Jika kamu adalah wanita pekerja yang tengah mengandung janin tanpa ayah serta kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, ke mana akan kamu bawa kandungan tersebut? Baik Fajar Nugros maupun Deo Mahameru mempertanyakannya lewat film yang mereka arahkan dan tulis, Inang. Film drama horor thriller dan supernatural ini diproduksi oleh IDN Pictures. Para pemerannya antara lain Naysila Mirdad, Dimas Anggara, Lydia Kandou, Rukman Rosadi, Rania Putri Sari, Pritt Timothy, dan Totos Rasiti. Ketika telah ada banyak sekali film horor dengan ide yang hampir serupa, bagaimana cara Inang menghadirkan kisahnya?
Kehidupan pekerja kelas bawah tak jarang tercekik berbagai masalah. Apalagi bila mereka tinggal di tengah hiruk-pikuk kota. Itulah yang dialami Wulan (Naysila). Bahkan keterbatasannya dalam mencukupi kebutuhan harian dipusingkan oleh kehadiran calon jabang bayi dalam perutnya. Kehamilan “tidak terencana”-nya dengan seorang pria asing. Meski punya Nita (Rania) sebagai teman dekatnya, Wulan tetap tak dapat berbuat banyak. Mengandalkan pertolongan dari sang atasan, Hardiman (Rasiti) pun sia-sia karena hanya berujung pada pelecehan. Walhasil, Wulan melarikan nasib kandungannya ke calon orang tua asuh, pasangan Bapak Agus (Rukman) dan Ibu Eva (Lydia). Namun baru beberapa waktu Wulan tinggal bersama mereka, hal-hal aneh dan misterius melingkupinya.
Kali terakhir film horor yang cukup sukses secara kualitas, tetapi berangkat dari kehidupan ekonomi kelas bawah adalah Perempuan Tanah Jahanam. Inang lantas menyoroti sulitnya mencukupi kebutuhan ekonomi mereka dengan porsi lebih besar, lewat latar belakang pekerjaan sebagai pegawai kasir biasa. Bahkan juga memunculkan dialog-dialog kasar yang menyesuaikan latar belakang ekonomi, kultur, dan pendidikan para tokohnya. Ada pula senioritas patriarkis antara atasan pria dan bawahan wanita. Benar-benar mencirikan lingkungan perburuhan di gang-gang sempit kota besar. Habit masyarakat kelas buruh kemudian menggulirkan berbagai persoalan dalam cerita Inang. Termasuk mengarah ke perkara mistis, klenik, atau supernatural.
Inang mengisahkan adegan demi adegannya dengan tempo yang lambat. Setiap peristiwanya pun dituturkan lewat tokoh-tokoh dengan sikap yang (terlihat) lemah lembut, ramah, dan penyayang. Khususnya Ibu (Lydia) dan Bapak (Rukman). Kedua pemerannya pun seolah menyatu dengan karakter masing-masing, dan menghanyutkan perasaan penonton. Begitu pula dengan penokohan Bergas oleh Dimas. Jarang sekali adegan-adegan cepat yang menegangkan atau dialog kemarahan muncul dalam Inang. Nugros pun tampaknya sedikit demi sedikit telah mulai memperbaiki caranya dalam mengarahkan sinema lewat beberapa film terakhir. Meski Inang sendiri barangkali menjadi film horor pertamanya.
Lain para tokoh tersebut, lain pula sang pemeran utama. Kita tentu sudah biasa dengan keharusan penulis agar penonton bisa bersimpati ke tokoh utama. Namun penonton Inang, justru seakan tak punya alasan untuk bersimpati ke Wulan (Naysila), sang tokoh utama. Karakternya bahkan kerap kali menimbulkan kebencian. Seorang wanita dengan prinsip kuat, tetapi tak sanggup “menghidupi” sendirian prinsipnya. Lain halnya dengan tokoh-tokoh lain. Banyak dari mereka malah mudah mengambil hati penonton. Meski masing-masingnya menyimpan rahasia yang tak remeh.
Sementara itu, elemen horor Inang boleh dikatakan mirip Affliction. Cara-cara menghadirkannya ke penonton lebih banyak memaksimalkan pembangunan horor lewat suasana, alih-alih mengobral penampakan setan. Satu hal yang masih sering diabaikan oleh banyak pembuat film horor. Seakan film horor tanpa sering-sering ada penampakan hantu bukanlah film horor. Namun, jelas baik Affliction maupun Inang mematahkan anggapan tersebut. Dua contoh kasus yang tetap bisa kita rasakan horornya, meski amat minim memunculkan sosok hantu.
Ihwal unsur-unsur lainnya, tak banyak yang Inang tawarkan. Bahkan set lokasi peristiwa yang kebanyakan terjadi di satu rumah tidak tergambar dengan jelas. Di mana posisi setiap ruangan dengan ruangan lain, dan sebagainya. Memang bukan setting terbatas, tetapi minimal penonton bisa ikut membayangkan sebagian setnya. Kendati demikian, sineas Inang “nyaris” konsisten memasukkan barang-barang yang memang sesuai dengan latar belakang setiap tokohnya. Nyaris, sebab ada salah satu hal yang paling tidak sesuai antara salah seorang tokoh dan benda miliknya. Bayangkan saja, seorang pegawai kasir biasa, punya gawai bagus, tetapi kesulitan mencukupi kebutuhan harian. Itu baru satu hal, karena masih ada sejumlah persoalan lainnya.
Inang mengolah ide yang sesekali diangkat oleh film lain dengan caranya, namun sang sineas belum cermat terhadap setiap detail film. Rumah Produksinya sendiri, IDN Pictures, belum banyak membuat film-film yang bagus. Kali terakhir yang terbilang lumayan barulah Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama. Meski begitu, upaya Fajar Nugros untuk secara bertahap membenahi diri tetap bagus. Mahameru yang baru memulai debutnya juga dapat menemukan kesempatan untuk lebih banyak belajar lagi. Baik dari segi debut film panjang, maupun debut genre horor.