Dunia kisah hantu Danur kembali menampakkan diri lewat film keenamnya, Ivanna. Salah satu sosok hantu yang diambil dari Danur 2: Maddah ini masih mengadaptasi karya Risa Saraswati. Melalui arahan Kimo Stamboel, skenario Ivanna dikerjakan oleh Lele Laila yang sudah ikut menulis sejak awal seri Danur. Film horor produksi MD Pictures dan Pichouse Films ini diperankan oleh Caitlin Halderman, Jovarel Callum, Sonia Alyssa, Junior Roberts, Shandy William, Taskya Namya, dan Yayu A.W. Unru. Setelah capaian dari spin-off sebelumnya, Asih 2 yang tak seberapa, akankah Ivanna bernasib sama?
Peralihan kekuasaan pada masa penjajahan dari Belanda ke Jepang membawa dampak signifikan bagi Ivanna (Alyssa). Sebagai darah Belanda, keberadaan tantara Jepang rupanya menjadi momok yang mengerikan untuknya. Bertahun-tahun usai peristiwa yang menyiksa Ivanna, sepasang kakak-beradik, Ambar (Halderman) dan Dika (Callum) berpindah domisili ke sebuah panti. Pertemuan keduanya dengan para penghuni panti menarik mereka semua ke dalam serangkaian keanehan yang berujung tragedi menakutkan. Dengan kondisi masing-masing yang serba berbeda, mereka hanya punya pilihan yang amat terbatas untuk menuntaskan masalah di sana.
Ivanna tampil dengan ide awal yang berbeda dari seri Danur dan Asih. Baik latar waktu setiap kejadian, karakteristik tokoh utama, maupun tempat peristiwanya. Titik awal kisah bermula dan siapa saja yang terlibat seakan berada di tempat yang berbeda dengan kelima film sebelumnya. Kita telah menyaksikan seri Danur dengan sosok-sosok arwah Belanda dan kedua film Asih dengan lokalitas kuntilanaknya. Kelima film tersebut juga menyediakan titik pertemuan peristiwa satu sama lain. Walau dengan sejumlah celah. Namun, Ivanna tak memunculkan salah satu aspek penting tersebut. Sosoknya memang sempalan (spin-off) dari Danur 2. Namun benang merah yang menghubungkan Ivanna dan Danur 2 tidak terlihat. Lain halnya dengan yang dilakukan oleh kedua film Asih dan Danur. Ada sebentuk “pengikat” masalah yang sama di sana.
Sangat disayangkan pula, Ivanna tampak belum bisa lepas dari standar formula pengemasan film-film horor tanah air kebanyakan. Film-film yang pasti menyertakan cuaca buruk atau hujan, tidak sengaja membuka “kotak pandora”, musik lama, dan rencana kabur. Bukan perkara yang sepenuhnya salah memang ketika poin-poin tersebut masih diandalkan. Hanya saja, tentu perlu jembatan yang halus dan rapi untuk mencapai ke semuanya. Jika jembatannya saja asal, maka formulanya pun hanya akan berujung sebagai cara instan atau salinan semata. Walau fakta tentang “perbedaan” ciri fisik sang tokoh utama patut diapresiasi lebih, karena keterbatasannya tersebut barangkali belum pernah ada dalam film-film horor sebelumnya.
Persoalan lain yang aneh dari Ivanna adalah cara Kimo dan Laila dalam mengolah logika cerita. Ada beberapa adegan dan peristiwa yang muncul dengan momentum yang aneh. Sampai-sampai cukup layak bila disebut sebagai serba tiba-tiba. Selain itu, sejumlah dialog pun malah terkesan ganjil. Tidak akan jarang kita justru tertawa geli saat beberapa di antara dialog tersebut diucapkan. Walau sang penulis sendiri telah mengawal kisah adaptasi semesta hantu ini sejak permulaan seri. Aneh, melihat hasil garapannya yang seperti ini. Namun Ivanna bukanlah seperti ketiga seri Danur juga Asih dengan tokoh-tokoh penting yang dapat memberi perlawanan ke hantu masing-masing. Sang hantu Ivanna justru mencundangi setiap manusia di wilayahnya. Kendati pada saat yang sama, serangan dari hantu Ivanna menunjukkan perbedaan dengan kelima film lain lewat ciri khas eksekusi Kimo.
Pembuatan sinema sebagai adaptasi dari sebuah buku memang tak jarang menemui masalahnya sendiri. Nasib yang sama rupanya dialami pula oleh Ivanna. Belum sampai kisah berjalan lebih dari setengah, kita sudah bisa langsung menebak banyak bagian dalam film ini. Terutama untuk elemen-elemen yang berkaitan erat dengan sang hantu dan alasannya bergentayangan. Lalu jika kita dapat mengingat kembali ke belakang, agaknya, Asih 2 juga hampir senasib. Guliran kisahnya cenderung mudah terbaca. Pendek kata, baik film sekuel Asih tersebut maupun Ivanna, rasanya masih belum mampu mengungguli ketiga seri Danur. Dalam hal penulisannya.
Ivanna memang berangkat dari waktu, tempat, dan kondisi fisik tokoh utama yang berbeda, tetapi pengolahan skenarionya malah ala kadarnya. Penonton mungkin dapat dibuat terkesan pada hampir paruh pertama film. Namun setelah itu, banyak unsur dalam Ivanna yang malah terasa aneh. Terutama pada bagian jembatan dari setiap peristiwa dan beberapa detail kecilnya. Setelah Asih 2 kurang berhasil dalam menghadirkan kisahnya, Ivanna pun tak banyak memperbaiki kesalahan. Sang penulis seakan jenuh untuk melakukan kreasi cerita agar lebih istimewa, dan memilih lebih banyak mengikuti panduan sumber adaptasinya.
Tak ada yang patut dibanggakan dari Danur 2, cerita kopong, kamera digelapkan dengan alasan artistik mutar2 bikin pusing, latar yang tak jelas, sepersekian flashback begitu dibilang unggul. Tanpa dialog pula. Penyelesaian yang tak kalah mudahnya hanya dengan merobek buku?????
Ihwal cerita, tentu yang dimaksudkan adalah melangkah ke ranah yang lebih luas dibanding Danur 1. Danur 1 sendiri berpusat pada latar belakang Risa. Setidak-tidaknya, Danur 2 terasa lebih menegangkan. Lalu intensitas adegan dan peristiwanya, yaa… sudah jadi ciri khas dari Awi rasanya. KKN pun dia arahkan demikian. Untuk frame yang berputar-putar, barangkali dimaksudkan untuk menunjukkan hal-hal yang tak wajar atau tak biasa. Walau, memang benar menurut Ron, penyelesaiannya sukar kita terima. Padahal maksud dari cerita Danur 2 adalah sebagai tes bagi Risa dengan kemampuannya, tetapi penyelesaiannya justru bergerser dari itu.