Bagi seorang penggemar kisah asmara, sulit rasanya untuk tidak tertarik dengan cerita cinta terlarang yang berlangsung pada masa sekitar 1950 hingga 1960-an. Sebab segala peristiwa dari dalam negeri yang terjadi pada era tersebut, pasti sedikit-banyak beririsan dengan situasi politik bangsa. Begitu pula Kambodja. Film drama roman dan politik arahan Rako Prijanto dengan skenario garapan Anggoro Saronto ini telah rilis di platform streaming KlikFilm. Melalui produksi Falcon Pictures, para pemerannya antara lain Della Dartyan, Adipati Dolken, Revaldo, Carmela van der Kruk, dan Sapto Soetardjo. Telah kali keempat ini Rako dan Anggoro bekerja sama. Lantas bagaimana hasil dari kerja mereka tersebut dalam film ini?
Danti (Dartyan) dan suaminya, Sena (Revaldo) tiba di sebuah rumah kos tanpa membawa konflik apa-apa. Namun sebagai penghuni baru, rupanya kehadiran mereka sedikit menciptakan permusuhan dengan Bayu (Dolken) dan Lastri (Carmela). Pasangan penulis dan biduan yang telah lebih dulu menghuni rumah kos, sekaligus tetangga kamar mereka. Hari-hari yang berjalan dengan sedikit tidak menyenangkan bagi hubungan suami-istri masing-masing, kemudian melahirkan relasi baru. Tidak terhindarkan, meski mereka sama-sama tahu itu keliru dan tabu. Jadi satu-satunya cara untuk menjalani itu adalah dengan merahasiakannya, sambil terus menahan hasrat bersama.
Dolken dan Dartyan dipertemukan kembali dalam film drama asmara Kambodja. Namun, ini kali ketiga mereka memerankan karakteristik cerita dengan hubungan asmara semacam dalam film ini. Relasi percintaan yang harus menyembunyikan (kenyataan) atau disembunyikan dari orang-orang di sekitar mereka. Pertama adalah Love for Sale 2, lalu berlanjut dengan Akhirat: A Love Story, dan sekarang film ini. Tampaknya mereka sendiri cukup menikmati peran-peran dengan konflik percintaan sembunyi-sembunyi seperti dalam film ini. Meski rasanya daripada dua film sebelumnya, Kambodja lah yang membawakan cerita dengan kesalahan hubungan paling besar.
Garis besar persoalan dalam tema dari cerita Kambodja barangkali sepele di satu sisi, tetapi amat keliru di sisi lain. Tampak seakan sekadar soal perpindahan rasa ke lain hati, tetapi masing-masing dari mereka sudah punya suami dan istri. Sepintas, ide semacam ini terbilang telah cukup umum dalam dunia cerita drama asmara. Namun karena film ini menghadirkannya dari masa 1950-an, maka ide tersebut menjadi punya peluang untuk dihadirkan.
Setidaknya, problematika tentang “menjaga rahasia asmara bersama” antara Dolken dan Dartyan cukup berbeda daripada kedua film mereka sebelum ini. Bagaimana keduanya melewati hari-hari penuh ketegangan, tetapi sebagai dua orang dari masa yang amat lampau itu. Di mana hal-hal tabu masih lebih banyak ketimbang hari ini. Lagipula chemistry di antara mereka tidaklah dibangun baru-baru ini. Luwes dan tidaknya mereka dalam berolah peran untuk kebutuhan konflik dalam film ini sudah diuji dalam dua film sebelumnya.
Kambodja mengambil latar waktu pada tahun 1955 di Jakarta. Keputusan untuk membuat cerita berlatar waktu zaman lampau tentu harus dibarengi dengan upaya maksimal, pada visual dan hampir seluruh pendukungnya. Baik dengan pemilihan properti, busana, cara bicara, set lokasi, musik, warna, cahaya, situasi perpolitikan dan negara pada masa itu, hingga latar belakang setiap tokohnya. Jika ada yang meleset sedikit saja, maka film tersebut otomatis kehilangan banyak nilainya. Film ini bergulir perlahan dengan tempo lambat dan hati-hati. Setiap potongan peristiwa dimaksudkan untuk semakin membuat runyam relasi Bayu dan Danti yang saling mendekati dan tarik-menarik. Namun pada momen lain, mereka juga masih harus menutupi semua itu dari pasangan masing-masing.
Tempo yang lambat dan guliran kisah yang sabar menjadikan Kambodja terasa agak menghipnotis. Sebelum sempat menyadari, kita tiba-tiba sudah berada di pertengahan film dengan fakta bahwa setting lokasi Kambodja itu terbatas. Hanya ada satu rumah dengan beberapa ruangan, serta ruangan-ruangan lain jauh di luar rumah. Juga tentu saja mengikuti latar waktunya, dialog-dialog dalam film ini benar-benar khas tahun tersebut. Baku, sopan, kaku, canggung. Jelas unsur patriarki dalam Kambodja pun kental. Meski tidak semua tokoh mengalaminya.
Kambodja tampak dibuat dengan maksimal, meskipun tidak menggelegar. Caranya dalam membius penonton lewat hubungan diam-diam Bayu dan Danti yang saling menggoda berlangsung dengan manis. Bayangkan saja sejumlah adegan saling goda antara pria beristri dan wanita bersuami secara sembunyi-sembunyi, tetapi pada tahun 1950-an. Tentu lebih banyak menggunakan tanda, kode, atau sinyal-sinyal tertentu, daripada terang-terangan dengan kata-kata.
Lewat banyak gerak tanda dan muka, Kambodja menghadirkan cinta terlarang dari masa lampau yang beririsan dengan suasana politik pada era tersebut. Film ini dengan sabar mengisahkan relasi tabu antardua individu di tengah perpolitikan negeri pada sekitar tahun 1950-1960-an. Walau terkadang ada saja beberapa bagian yang terjadi secara tiba-tiba tanpa jembatan yang halus dan rapi untuk memunculkannya. Namun jika saja kisah asmara dalam Kambodja hadir dengan latar di era sekarang, rasanya akan sukar untuk bisa sebagus ini. Pemilihan latar waktu dan kombinasinya yang bersinggungan dengan politik lah yang menjadikan film ini menarik.