Lightyear yang tidak dirilis di jaringan bioskop kita, akhirnya bisa kita nikmati melalui platform streaming Disney Plus sejak beberapa hari lalu. Film animasi ini tercatat adalah produksi studio Pixar yang pertama kali rilis di teater sejak pandemi dua tahun lalu. Lightyear yang merupakan nama belakang Buzz dalam seri Toy Story, kini mendapatkan kisahnya sendiri, yang terpisah dari kisah seri besarnya. Lightyear digarap oleh debutan Angus MacLane dengan diisi suara oleh Chris Evans, James Brolin, Keke Palmer, serta Taika Waititi. Tanpa Woody dan kawan-kawan serta selipan konten sensitif, apakah Lightyear mampu bersaing dengan seri besarnya?

Lightyear (Evans) adalah seorang space ranger yang kini bersama rekannya Alisha Hawthorne (Palmer) mendapat tugas untuk menyelidiki sebuah planet yang bisa dihuni. Beragam monster ternyata adalah habitat planet tersebut, dan mereka harus pergi dari sana. Ketika akan lepas landas, pesawat induk mereka jatuh sehingga satu koloni terjebak di planet tersebut. Buzz harus mencari cara agar ia dan koloninya dapat kembali pulang ke planet mereka sekalipun harus dibayar dengan waktu.

Dari teks di awal dijelaskan bahwa film ini adalah film yang ditonton Andy (pemilik Woody dan Buzz) hingga mengapa ia mengidolakan Buzz pada seri pertama Toy Story. Jika selesai menonton film ini, tentu banyak pertanyaan yang terlintas. Banyak hal aneh dan mengganjal jika ini benar adanya. Jika iya, tentu kisah filmnya adalah sepak terjang Buzz sebagai seorang space ranger bukan kisah yang rumit seperti ini. Konten sensitif (LGBT) dalam filmnya adalah persoalan lain lagi. Teks di atas adalah satu hal yang memaksa untuk sekadar menghubungkan film ini dengan seri besarnya. Lightyear adalah film yang serius dan tak mudah dicerna, terlebih untuk anak-anak (Andy, maksud saya).

Baca Juga  Thirteen Lives

Plot Lightyear tergolong rumit karena bermain-main dengan waktu akibat perjalanan angkasa berkecepatan cahaya yang dilakoni Buzz. Bagi yang sudah menonton dan paham Interstellar garapan Chris Nolan tentu mudah mencernanya. Kisah sesungguhnya baru bermula berpuluh tahun kemudian, di mana misi Buzz ternyata sudah lagi bukan hal yang prioritas. Zurg (Brolin) adalah masalah sesungguhnya, dan dibaliknya ada kerumitan luar biasa yang berbeda konsep dengan kisah serinya (Toy Story 2). Namun berbeda cerita untuk tim kecil yang dipimpin Buzz, yang menjadi ciri khas film-film Pixar, yakni team work dan persahabatan. Buzz, bersama tiga rekan barunya yang unik, termasuk sobat dekatnya, Sox si kucing robot adalah satu tim solid yang bekerja dengan gaya dan caranya sendiri. Jika sudah akrab dengan film-film Pixar, pasti paham benar akan hal ini.

Lightyear bukanlah film yang buruk walau sedikit sensitif untuk target genrenya, namun untuk spin-off serinya (Toy Story) terasa ada sesuatu yang hilang. Untuk visual, rasanya Lightyear adalah yang terbaik film-film produksi studionya. Ada kedalaman dalam penggunaan tone warna yang suram dari sebelum-sebelumnya yang memiliki warna cerah. Poinnya, gambarnya terlihat lebih natural. Sisi humornya pun, kini lebih serius, termasuk Buzz sendiri. Pilihan Chris Evans untuk mengisi suara Buzz, serta bukan Tim Allen, jelas satu pilihan komersil yang tidak sulit diterka. Namun sosok Buzz kehilangan sisi naifnya seperti di seri aslinya. Buzz versi Evans terlalu serius. Pilihan kisah serius adalah yang membuat film ini menjadi berjarak dengan serinya. Bukan ini sepertinya yang dikehendaki para fans Toy Story, dan ini pula yang menjadi penyebab filmnya gagal di box-office.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThirteen Lives
Artikel BerikutnyaKung-Fu Zohra
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.