Looop Lapeta (2022)
131 min|Action, Comedy, Crime|04 Feb 2022
5.2Rating: 5.2 / 10 from 5,177 usersMetascore: N/A
When her boyfriend loses a mobster's cash, Savi races against the clock to save the day if only she can break out of a curious cycle of dead ends.

Looop Lapeta tak sungkan menyematkan judul film yang menjadi sumber adaptasinya, Run Lola Run (1998) di pembuka kredit. Run Lola Run adalah film ikonik produksi Jerman yang kita kenal dengan pola nonlinier dan kemasan estetiknya yang unik. Lapeta mengambil semua gaya estetiknya dengan sentuhan lokal (India) tentunya. Looop Lapeta diarahkan oleh Aakash Batia dengan dua bintang utamanya, Taapsee Pannu dan Tahir Raj Bhasin. Lapeta dirilis awal bulan Februari ini oleh platform Netflix.

Savina (Pannu) mendadak dihubungi sang pacar Satya (Natia) yang kehilangan uang sebesar 5 juta rupee di dalam bis yang ia tumpangi. Uang itu adalah hasil sitaan milik bos kriminal atasan Satya yang harus diserahkan kurang dari satu jam. Jika bosnya tahu, nyawa Satya bakal diujung tanduk. Melihat situasi ini, Savina harus segera mencari cara untuk mendapatkan uang sebesar itu dalam durasi waktu yang pendek. Run Savi run!

Bagi yang sudah menonton Run Lola Run, pasti tahu betul betapa banyak kemiripan Lapeta, baik dari segi penuturan plot maupun estetiknya. Pola loop plot Lapeta kali ini tidak bisa dibilang nonlinier karena Savi menyadari apa yang terjadi sebelumnya dan ia memilih opsi tindakan yang berbeda karena belajar dari kesalahan. Lalu sisi estetiknya… wow, bisa jadi ini adalah film produksi India paling ekstrem yang pernah saya tonton dengan gaya sinematik modern, seperti pergerakan kamera yang ekstrem, ritmik editing, split screen, efek suara, animasi, serta belasan lainnya yang dikombinasi dengan tempo dinamis dan cepat. Tidak buruk sama sekali.

Baca Juga  White Building : Potret Keruntuhan

Satu perjalanan yang mengasyikkan memang, walau tak sulit diantipasi hasil akhirnya. Satu masalah terbesarnya adalah durasi panjang yang melelahkan. Tidak seperti Lola yang bergerak cepat dan to the point, Lapeta justru banyak berlama-lama di adegan demi adegan. Satu obrolan kecil di kamar bisa terasa belasan menit lamanya. Dengan pendekatan estetik yang demikian variatif, cepat, dan dinamis, tentu ini membuat kita semakin lelah. Tapi ini memang tertutup oleh babak ketiga (resolusi) yang memuaskan, berdurasi lebih pendek dari sebelumnya. Kebetulan demi kebetulan ala Guy Ritchie dan polah konyol para tokohnya, dalam beberapa momen memang menghibur, walau kadang terlalu dipaksakan dan berlebihan.

Loop Lapeta adalah carbon copy Run Lola Run versi India dengan durasi panjang yang melelahkan, namun untungnya, babak ketiga (resolusi) sedikit mampu menutupi kelemahannya. Sang sineas rupanya berusaha lepas dari tradisi film mainstream lokal, tidak hanya secara visual, namun menyelipkan pula isu-isu yang sensitif, seperti hamil di luar nikah, LGBT, kawin lari, manipulasi asuransi, dan mungkin banyak lainnya yang tidak saya sadari. Loop Lapeta adalah satu contoh bagus, walau tak sempurna, sebuah remake “estetik” yang menarik untuk menjadi bahan studi kasus para penikmat dan akademisi film.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaSpecial Delivery
Artikel BerikutnyaRestless
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.