The Mitchells vs. the Machines (2021)
114 min|Animation, Adventure, Comedy|30 Apr 2021
7.6Rating: 7.6 / 10 from 132,243 usersMetascore: 81
A quirky, dysfunctional family's road trip is upended when they find themselves in the middle of the robot apocalypse and suddenly become humanity's unlikeliest last hope.

Luca adalah film produksi Pixar yang diarahkan oleh debutan sineas asal Italia, Enrico Casarosa. Casarosa sebelumnya adalah yang mengarahkan film animasi pendek berkelas, La Luna. Film animasi ini diisi suara oleh beberapa nama yang tak asing, sebut saja Jacob Tremblay, Jack Dylan Grazer, Maya Rudoplh, dan Emma Berman. Film ini dirilis sehari lalu secara streaming oleh platform Disney +. Dengan bermodal nama besar studio Pixar, mampukah Luca bersanding dengan film-film masterpiece produksi studio ini lainnya?

Luca adalah seekor monster laut yang penasaran dengan dunia manusia. Pertemuannya dengan rekan barunya, Alberto, membawanya ke sebuah petualangan baru di dunia daratan. Sementara sang ibu melarang untuk bermain di sana dan menghukumnya, Luca dan Alberto malah kabur ke kota untuk menggapai mimpi mereka, yakni mengendarai motor Vespa.

Seperti kebanyakan film-film Pixar lainnya, kisahnya ringan dan gamblang, dan kali ini, wilayah pantai eksotis di Italia yang menjadi setting kisahnya. Atmosfir Italia begitu kental dalam filmnya, baik dialog hingga arsitektur. Tidak seperti sebelumnya, untuk satu film, Luca mengusung banyak isu dan tema dengan tidak hanya mengusung tema persahabatan, namun juga keluarga, beda ras, malah bahkan mungkin menyinggung isu LGBT. Semangat kisah film pendek La Luna yang mengusung hubungan ayah dan anak juga muncul dalam plotnya. Isu ras rasanya adalah tercatat sesuatu yang baru untuk Pixar. Naskahnya mengemas semua isu ini dengan solid. Walau tidak selevel film-film masterpiece garapan Pixar, macam seri Toy Stoy, Monster Inc., Up, hingga Inside Out.

Akibat tidak dirilis di teater, agak sulit memang menilai kualitas visualnya. Jelas jauh dari kata buruk, tapi rasanya tidak sekualitas dengan film-film rilis teater yang diproduksi studio Pixar. Visualnya yang penuh warna membuat gambarnya amat nyaman untuk ditonton. Nuansa pantai berbukit dan kota pinggir laut mampu memberikan sesuatu yang berbeda untuk film animasi keluarga yang pernah diproduksi.

Baca Juga  Narnia, Voyage of the Dawn Treader, Berakhir Sesaat Bermula

Ideal untuk target genrenya dengan nuansa eksotis negeri pizza, namun untuk standar film-film masterpiece produksi Pixar sebelumnya, Luca berada di garis rata-rata. Dengan aksi, sisi komedi berkelas, serta pesan ringan dalam filmnya membuat Luca adalah satu tontonan keluarga yang aman dan komplit. Toleransi antar “ras” bisa jadi adalah satu sisi paling urgen yang patut dicatat, di mana isu ini sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun lalu, umat manusia di belahan dunia mana pun masih saja terjebak masalah yang sama. “Ras” juga bisa mengarah ke isu lain yang lebih sensitif, seperti sudah saya sebut di atas. Studio Pixar merespon isu ini dengan gaya yang berkelas.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaSkater Girl
Artikel BerikutnyaBatman: The Long Halloween Part One
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.