Mengandung Spoiler dan dianjurkan untuk menonton miniserinya sebelum membaca ulasan ini.

Mare of Easttown adalah drama miniseri misteri rilisan HBO yang digarap oleh Craig Zobel. Zobel tahun lalu menggarap film thriller aksi unik, The Hunt. Naskah film ini ditulis oleh Brad Ingelsby dengan total episode berjumlah tujuh seri yang masing-masing berdurasi rata-rata sekitar satu jam. Miniseri ini dibintangi oleh beberapa bintang kenamaan, yakni Kate Winslet, Guy Pearce, Even Peters, serta didukung Julien Nicholson, Jean Smart, Anggourie Rice, David Denman serta belasan lainnya.  Tak banyak miniseri yang saya tonton, tapi tahun lalu, miniseri misteri Defending Jacob juga memiliki beberapa kemiripan setting dan pengembangan cerita, walau film ini memiliki muatan konten lebih gelap. Lantas bagaimana dengan Mare of Easttown?

Mare of Easttown berfokus pada sosok detektif paruh baya bernama Mare Sheehan (Winslet). Mare adalah seorang perempuan aktif yang terbilang berantakan dalam rumah tangga dan karirnya. Sang putra bunuh diri belum lama berselang dan menyisakan trauma mendalam untuknya. Ia juga bercerai dengan suaminya, Frank, serta dipusingkan masalah hak asuh cucunya, Drew, dengan ibunya yang pecandu heroin. Sebagai detektif, ia juga disudutkan warga kota karena tidak mampu menyelesaikan kasus seorang perempuan yang hilang sejak setahun lalu. Dengan segala problema personal ini, kini Mare dihadapkan dengan satu kasus pembunuhan seorang ibu muda bernama Erin, yang pelik dan melibatkan banyak orang-orang dekat di sekelilingnya.

Miniseri jelas berbeda struktur cerita dengan film panjang. Miniseri mampu memberikan ruang eksposisi yang luar biasa detil bagi tiap tokohnya. Mare adalah satu contoh yang bisa dibilang ideal untuk membangun plot dan konfliknya. Film panjang berdurasi 2,5 jam pun tak akan mampu memberikan eksposisi demikian rinci semacam ini. Ibarat untuk masuk babak pertama saja, kematian Erin, dicapai dalam waktu sekitar satu jam lebih. Bayangkan, eksplorasi cerita dan karakter seperti apa yang bisa dilakukan dalam durasi sekian lama. Dengan naskah yang solid, Mare terbilang rapi dan detil sehingga nyaris tak ada satu adegan pun (bahkan shot) yang terasa dipaksakan. Semuanya mengarah ke satu petunjuk kecil atau dugaan lain yang mungkin bisa berefek pada problem utamanya.

Serupa Defending Jacob, untuk plot misteri macam ini hal yang paling lazim dilakukan adalah membuat penonton meraba-raba ke mana arah cerita atau lebih khususnya, siapa pembunuh Erin? Bagi penikmat film sejati, ini tentu sudah hal yang biasa. Di tahap awal, lazimnya sineas menyajikan potongan informasi secuil dari banyak tokoh untuk memperluas opsi, siapa dalang pembunuhnya? Kisah yang awalnya terlihat sepele menjadi semakin kompleks dengan munculnya petunjuk-petunjuk baru yang mengarah ke karakter lainnya. Mare memberikan ini semua dengan sangat baik dan rapi. Penonton tentu menanti sebuah kejutan besar.

Satu pola yang mudah dibaca adalah cara sang sineas memberikan petunjuk/informasi sehingga kita tahu mana yang bakal menjadi kunci cerita dan mana yang sekadar hanya pengalih perhatian. Inti kisah (informasi/fakta penting) selalu disembunyikan, bahkan nyaris tak ada petunjuk ke arah poin kisah yang sesungguhnya. Jadi klimaks film adalah sebuah kejutan yang bakal sulit untuk ditebak. Ini memang rada sedikit spoiler, namun apa pun informasi yang tersaji dalam pengembangan plotnya, nyaris 100% adalah pengalih perhatian. Walau begitu, cara sang sineas menyajikannya, untuk penonton awam bisa jadi sulit untuk ditebak.

Baca Juga  A Quiet Place: Day One

Ada beberapa poin kecil yang memang rada dipaksakan untuk mengakhiri cerita yang seharusnya sudah sejak awal informasi ini dipaparkan. Satu hal misalnya, mengapa ayah John Ross baru setelah sekian lama memberikan informasi penting soal Billy setelah sekian lama? Saat itu dibicarakan pun, tidak ada aksi yang memicu. Ini tentu berbeda dengan Brianna yang belakangan memberi info soal Dylan yang ternyata berbohong pada Mare mengatakan bahwa pacarnya bersamanya saat pembunuhan terjadi. Poinnya, miniseri ini memiliki kejutan yang sudah tak lagi kejutan, bagi saya. Bagaimana bisa menjadi sebuah kejutan jika kita sudah mengantisipasi sebuah kejutan? Kejutan adalah tetap sebuah kejutan yang tak mampu kita antisipasi sebelumnya.

Bicara soal akting, rasanya Kate Winslet adalah kunci utama film ini. Winslet bermain dalam peran terbaiknya sejauh ini. Sosok Mare begitu kompleks. Traumatik, cerdas, mampu memendam emosi di satu momen tapi tidak untuk momen lainnya, serta pula ringan tangan. Tiap kali ia menghisap vape-nya, itu menandakan jika ia tengah dalam situasi tertekan. Jatuh bangun sosok ini diperankan dengan brilian oleh Winslet. Rasanya mudah bagi sang aktris untuk mendapatkan Piala Golden Globe kategori miniseri untuk perannya ini tahun depan. Sosok lain yang mencuri perhatian adalah sang ibu yang diperankan Jean Smart. Sosok Helen bisa jadi adalah sosok paling normal dalam kisah ini karena ia memegang norma lama sebagai pegangan hidupnya. Chemistry antara benci dan cinta pada putrinya adalah satu hal yang sangat suka dalam seri ini. Harus diakui, pilihan kastingnya memang brilian dalam miniseri ini, sebut saja sang kapten, sang pendeta, sosok Erin, sang sahabat (Lori), sosok Richard, dan tentu sang partner.

Mare of Easttown adalah sebuah drama miniseri misteri kompleks dengan problema yang fokus ke tokoh-tokohnya ketimbang investigasi, serta tentu para kastingnya yang bermain menawan. Satu premis besar yang menjadi inti kisahnya adalah masalah trauma, bukan investigasinya. Seperti layaknya film kebanyakan, kasus utama (pembunuhan Erin) adalah metafora dari masalah sang detektif yang sesungguhnya, bahwa ia belum bisa move on dari kematian sang putra yang bunuh diri di loteng rumahnya. Sang pendeta menyimpulkan poin kisah film ini dengan begitu sempurna di ending. Masalah adalah hal lumrah dalam hidup. Adalah pilihan kita sendiri, apakah kita ingin melukai orang lain, melukai diri sendiri, ataukah kita menerima pelajaran untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik? Mare of Easttown penuh dengan pilihan-pilihan ini dan konsekuensinya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaHitam
Artikel BerikutnyaThe Tomorrow War
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

  1. Terima kasih tim montase, khususnya mas Himawan udah mau terima request dari saya. Hehehe.
    Saya setuju banget, satu minus poin dari mini seri ini adalah pengakuan bapaknya John Ross tentang Billy, terkesan maksa. But overall saya suka banget film dan miniseri genre drama detektif seperti ini, banyak kejutan dan plot twist dibalik plot twist. Saya nonton The Long Halloween, gila emang the best Batman story ever told, period. Hehe, jadi penasaran sama part keduanya. Next saya bakal pantengin review Black Widow dan Loki dari mas Himawan. 😁👏👏

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.