Salah satu platform streaming, Maxtream, mencoba membuat filmnya sendiri berjudul Marley. Tampak ingin mengikuti jejak Klik Film yang telah lebih dulu memproduksi film-film sendiri melalui divisi produksinya. Bersama Denny Siregar Production dan Air Films, Marley diarahkan sendiri oleh salah satu produsernya, Ainun Ridho dengan skenario garapan Haikal Damara. Sumber ceritanya berasal dari produser yang lainnya, Denny Siregar. Sudah terbaca hasil filmnya akan seperti dari nama-nama dan peran masing-masing tersebut? Film drama roman dengan anjing sebagai salah satu tokoh penting ini diperankan oleh Tengku Tezi, Tyas Mirasih, Becky, Jason Lionel Theo, Emmi Lemmu, Yadi Timo, dan Chika Waode.
Guru matematika sekolah dasar benarma Doni (Tezi) suatu hari menemukan seekor anjing yang lari dari penjagalan. Seusai diberi makan olehnya, anjing tersebut mengikutinya pulang dan dia namai Marley (Becky). Marley rupanya tak bisa ditinggal sendirian di rumah. Bersamaan dengan Marley yang mengikuti Doni sampai ke sekolah tempatnya mengajar, kepala sekolah (Yadi Timo) memakai kesempatan tersebut untuk “menendang” Doni. Sementara itu, cara mengajar Doni yang tak sesuai aturan sekolah namun efektif mencuri perhatian Vina (Tyas Mirasih).
Tidak banyak film-film Indonesia yang menyertakan hewan ke dalam elemen cerita. Beberapa di antaranya pun menghadirkan peran-peran dari hewan tersebut sebagai sampingan. Seperti Marley misalnya. Porsinya masih kalah besar dengan plot lainnya. Bukankah film ini menceritakan tentang sang anjing yang bernama Marley? Bahkan plot romannya pun tak terlalu melibatkan para anjing dari kedua tokoh sentral, Bob milik Vina dan Marley miliki Doni untuk berperan mendekatkan mereka. Tak sebesar June & Kopi yang menghadirkan porsi dari peran June dan Kopi dalam plot mereka. Lagipula, Marley jelas bukan bertemakan hewan, melainkan pendidikan anak-anak di sekolah dasar.
Melihat dari sisi pengadeganan pula, ada beberapa yang tanggung dalam eksekusinya. Adegan kejar-kejaran yang terasa lambat dan panjang. Tokoh-tokoh yang terlibat pun tampak santai selama mereka saling mengejar di jalanan sempit. Shot–shot yang semestinya dipakai untuk mendukung kebutuhan adegan tersebut tidak ada, baik statis maupun dinamis. Kita bahkan bisa menebak kelanjutan dari beberapa peristiwa yang terjadi, serta maksud dari sejumlah adegan. Misalnya kehadiran shot tunggal penanda kematian salah satu tokoh. Juga adegan-adegan penting yang berpotensi menjadi kejutan atau memicu rasa penasaran, tetapi telah bocor terlebih dulu melalui trailer-nya.
Tengku Tezi rupanya mampu berakting dengan baik meski sebagai pendatang baru. Tak banyak masalah yang berarti saat harus beradu akting dengan pemain-pemain lama. Meski interaksinya dengan Marley seringkali terasa aneh. Tidak ada masalah untuk adegan-adegan tanpa dialog. Namun janggal rasanya untuk beberapa adegan di mana ia sebagai Doni berbicara dengan Marley. Di sisi lain Timo masih memainkan perannya yang memang sudah cocok baginya sejak dulu dengan baik. Seorang tua dengan sifat yang bermasalah dalam memandang orang lain. Begitu pula Chika dengan pembawaan khasnya yang sudah melekat sebagai karakteristiknya.
Satu lagi perkara yang masih kerap sekali dilakukan para penulis film-film dalam negeri adalah kuantitas kata-katanya, baik dialog maupun monolog. Masih ada saja ungkapan-ungkapan verbal untuk adegan yang sudah jelas terlihat di visual, baik yang hendak maupun sedang dikerjakan. Seakan menganggap penonton tidak akan cukup paham hanya dari visual saja, padahal adegannya pun tidaklah rumit.
Marley memang tampil bagus sebagai salah satu dari sedikitnya film berkonten hewan, tetapi bukan yang terbaik. Tampaknya plot pendidikan yang melebihi plot para anjing merupakan keinginan pribadi dari sang pemilik cerita sekaligus produser Marley, Denny Siregar. Sedemikian kental ingin mengampanyekan sistem pendidikan, sampai mengaburkan plot utamanya. Haikal yang notabene penulis baru pun tampak tak dapat berbuat banyak untuk mengolah naskah Marley. Parahnya lagi, Ridho yang juga produser mengarahkan sendiri film ini. Sekumpulan sineas baru yang tampaknya terlalu ambisius untuk menjajal kemampuan diri masing-masing. Walau pembahasan ihwal sistem pendidikan untuk anak-anak sekolah dasar patut diakui memang penting. Tetapi bukan berarti menggeser bintang utamanya.
Film yang jelek
Begitulah