Mortal Kombat, dianggap reboot dari seri sebelumnya yang rilis beberapa dekade lalu, yakni Mortal Kombat (1995) dan Mortal Kombat: Annihilation (1997). Seperti kita tahu, seri ini diadaptasi dari game tarung populer Mortal Kombat yang dikenal dengan aksi-aksinya yang sadis dan brutal. Bagi pecinta film tanah air, satu daya tarik terbesar tentu jelas adanya aktor Joe Taslim yang bermain sebagai Sub Zero. Film arahan sineas debutan Simon McQuoid ini dibintangi pula oleh aktor-aktris internasional, seperti Tadanobu Asano, Hiroyuki Sanada, Lewis Tan, Jessica McNamee, Josh Lawson, hingga Chin Han. Apakah film reboot-nya kali ini lebih baik dari sebelumnya?
Berbeda dengan seri-seri sebelumnya, atau bahkan film animasi panjangnya, kisah film ini, uniknya tidak mengambil plot turnamen atau kompetisi tanding. Malah, plotnya kini pada beberapa bagian rada mirip dengan film animasi panjang Mortal Kombat Legends: Scorpion’s Revenge. Hanya saja, dibandingkan film animasinya ini, plotnya kacau balau.
Kisahnya secara sederhana hanya perseteruan antara dua kelompok, Rayden dan Shang Tsung. Shang Tsung ingin menguasai dunia fana sementara Rayden sebaliknya. Lantas di mana buruknya? Nyaris segalanya. Penokohan yang lemah banyak menjauhkan kita dari tokoh-tokohnya. Belum lagi, puluhan lubang plot yang tidak bisa ditolerir. Kewarasan kita sungguh diuji untuk sekadar hanya mengikuti kisahnya yang tak masuk akal. Kalau mau ditulis, bisa puluhan banyaknya. Banyak hal tidak dijelaskan yang tahu-tahu bisa terjadi begitu saja. Jika memang hanya Sub Zero seorang bisa membunuh semua juara di bumi (ber-teleport ke mana saja ia mau), kenapa tidak segera ia lakukan sejak awal? Semua kelokan plot hanya untuk memaksakan adegan pertarungan bisa terjadi secepatnya.
Lalu bagaimana segmen aksinya yang menjadi hidangan utama filmnya? Bagi saya, sama sekali tidak berkesan, sekali pun pencapaian CGI-nya jelas jauh lebih baik dari seri-seri sebelumnya. Latar kisah yang tidak memadai membuat semua pertarungan menjadi tak berjiwa karena tak ada ikatan kental dengan tokoh-tokohnya. Tak ada sense of thread yang benar-benar kokoh dibangun. Semua seperti main-main layaknya pertunjukan sirkus. Satu hal yang mengganjal adalah kasting. Selain Joe Taslim dan Hiroyuki Sanada, tidak ada pemain yang benar-benar punya karisma kuat. Sosok Kano memang penuh polah dengan selorohannya, namun jika dicermati dialog-dialognya pointless. Joke-nya pun garing. Macam joke tawaran “3 juta dollar” Sonya ke Kano, “tentu saja saya tak punya 3 juta dollar” ujar Sonya ke Cole. Are you kidding me? Belum lagi yang teramat parah adalah potongan sensor kasar yang sangat menggelikan pada beberapa adegan sadis. Jika banyak dipotong habis seperti ini, lantas untuk apa rating Dewasa (17 tahun)?
Dengan naskah, penokohan, dan kasting yang amat buruk, Mortal Kombat hanyalah sebuah pertunjukan sirkus belaka! What the hell? Ada apa dengan film-film blockbuster Hollywood belakangan ini? Sebagian besar memang bukan tergolong film bagus tapi tidak pernah seburuk ini secara beruntun. Mengapa naskah bisa begitu buruk dengan semata hanya mengandalkan sajian visual? Bisa jadi pandemi yang melelahkan memang memicu kita untuk mencari hiburan ringan. Tapi tentu sungguh menyedihkan jika trennya seperti ini. Kembali ke Mortal Kombat, jika mau tontonan dengan kisah yang jauh lebih baik, silahkan tonton Mortal Kombat Legends: Scorpion’s Revenge.