Mulan

0
Mulan (2020)
115 min|Action, Adventure, Drama|04 Sep 2020
5.8Rating: 5.8 / 10 from 160,392 usersMetascore: 66
To keep her ailing father from serving in the Imperial Army, a fearless young woman disguises herself as a man and battles northern invaders in China.

Tak terasa hingga bulan September, sejak Februari awal tahun ini, penonton film tak lagi bisa pergi ke bioskop karena pandemi yang tak kunjung berlalu. Industri film adalah salah satu yang terkena dampaknya paling hebat. Platform online menjadi sarana paling laris untuk menonton hingga berimbas pada film-film besar yang seharusnya tayang di bioskop. Seperti tak bisa menahan, Disney pun akhirnya merilis Mulan yang seharusnya tayang Maret lalu, melalui platform online-nya, Disney +.

Mulan diarahkan oleh Niki Caro yang kita kenal dengan film masterpiece-nya, The Whale Rider (2002). Dengan berbekal bujet US$ 200 juta, film ini dibintangi oleh bintang-bintang mandarin legendaris, macam Donnie Yen, Gong Li, hingga Jet Li, serta didukung aktris muda top Liu Yifei, Jason Scott Lee, hingga Tzi Ma. Seperti halnya Jungle Book, Beauty and the Beast, The Lion King, hingga Alladin, Mulan (2020) diadaptasi dari film animasi laris, Mulan (1998). Akankah film ini bakal selaris film-film remake animasi lainnya? Rasanya mustahil di tengah situasi seperti ini.

Kisahnya pun kurang lebih sama seperti film animasinya dengan hanya sedikit penambahan dan pengurangan di sana-sini sebagai tuntutan transisi versi live-action-nya. Apakah lebih baik? Jauh dari aslinya. Seperti halnya The Lion King dan Alladin, film ini kehilangan nuansa magis kisah aslinya. Polah sosok naga kecil Mu-shu, si jangkrik, dan sosok kuda di film animasinya, mampu menjadi penyeimbang kisah dramanya yang serius. Minus sisi humor, versi live-action-nya kini menjadi tak ubahnya film drama aksi yang tak mampu menggugah.

Baca Juga  Fresh

Kisahnya pun, dalam beberapa adegan terasa seperti melompat dan tak lengkap. Entah karena secara tak sadar mengalami komparasi dengan kisah aslinya, yang jelas film ini kehilangan “chi”dan soul-nya. Satu contoh saja, adegan ketika sang ayah harus menerima panggilan militer dan berjalan tanpa tongkat untuk mengambil titah kaisar. Sisi dramatik yang diharapkan tak muncul dan ini banyak terjadi di adegan lainnya. Adegan aksi klimaksnya pun terasa sepi dan tak megah.

Namun, harus diakui sisi sinematografi serta production value-nya memang menampakkan bujet filmnya yang amat besar. Lalu bagaimana aksi perkelahiannya? Jika kamu pengagum Jet Li atau Donnie Yen, jangan berharap aksi perkelahian yang cepat, dinamis, dan “real” seperti di film-film mereka. Teknik slow-motion banyak dominan digunakan dan kadang terlihat para pemain mudanya masih terlalu kaku gerakannya. Bagi saya ini amat mengecewakan karena apa yang saya harapkan adalah film ini memiliki kelebihan di sisi koreografi aksinya. Walaupun, satu adegan pengejaran dengan kuda melalui aksi panahnya mampu ditampilkan mengagumkan.

Mulan, seperti halnya The Lion King dan Aladdin, kehilangan daya magis film animasinya dengan hanya menawarkan setting dan sinematografi menawan. Untuk bujet sebesar ini, Mulan jelas sangat mengecewakan. Saya juga berharap sekali, film ini menggunakan bahasa aslinya. Walaupun film ini boleh dibilang menjadi tonggak sejarah baru karena untuk pertama kalinya, sebuah film mega bujet Hollywood, dibintangi seluruhnya oleh para pemain Asia. Tentu ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi kita. Kita tunggu saja, apakah pencapaian Little Mermaid akan lebih baik dari ini?

Stay safe and Healthy!

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaMudik
Artikel BerikutnyaKekuatan Perempuan dalam Mulan
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.