No Time to Die (2021)
163 min|Action, Adventure, Thriller|08 Oct 2021
7.3Rating: 7.3 / 10 from 451,455 usersMetascore: 68
James Bond has left active service. His peace is short-lived when Felix Leiter, an old friend from the CIA, turns up asking for help, leading Bond onto the trail of a mysterious villain armed with dangerous new technology.

Setelah penantian sekian lama akibat pandemi yang kini juga belum berakhir, akhirnya film agen rahasia ikonik 007, James Bond dirilis juga. No Time to Die tercatat adalah seri James Bond ke-25 yang merupakan film terakhir yang dibintangi Daniel Craig setelah bermain dalam 5 film Bond. Film ini juga dibintangi beberapa pemain regulernya, yakni Ralph Fiennes, Ben Wishaw, Naomi Harris, Rory Kinnear, Lea Seydoux, Christophe Waltz, Jeffrey Wright, serta bintang pendatang baru, Rami Malek, Ana De Armas, serta Billy Magnussen. Film berbujet USD 250-300 ini tercatat sebagai salah satu film Bond termahal yang konon mampu membuat studio MGM bangkrut jika film ini gagal secara komersial.

Setelah peristiwa dalam Spectre, Bond (Craig) kini melewati hari-hari santainya bersama Madeleine (Seydoux ). Tanpa diduga kelompok Spectre masih saja memburu mereka yang membuat Bond terpaksa melepaskan Madeleine. Lima tahun berselang, Bond kini telah pensiun dari MI6. Rekan CIA lamanya, Felix Leiter memberinya sebuah misi yang awalnya ia tolak. Mendapat info bahwa kasus ini menyangkut MI6 dan senjata pemusnah massal, Bond pun menerima tawaran Felix. Kelompok Spectre pun ternyata terlibat di sana yang akhirnya membawa Bond kembali bersua dengan Madeleine.

Lagi-lagi, kisah Bond kali ini merupakan kontinu dari seri sebelumnya. Seri Bond milik Craig, sejak Casino Royale hingga No Time to Die, secara literal adalah seri sekuel yang saling berkesinambungan cerita secara langsung. Konsep ini sama sekali belum pernah kita temui dalam seri Bond sebelum Craig, yang merupakan satu petualangan kasus per kasus yang tidak ada relasi cerita. Apakah kontinuitas ini buruk? Jelas tidak. Seri ketiga, Skyfall adalah produk paling berkualitas di antara seri Bond milik Craig. Penurunan kualitas tampak dalam Spectre yang terasa sekali memaksakan untuk menyajikan sosok bebuyutan Bond, Ernst Blofeld. Craig sendiri mengaku lelah bermain sebagai Bond. Lantas, No Time to Die? Tak diduga adalah yang terburuk dari serinya.

Bisa dipahami, kontinuitas kisah sejak Casino hingga Spectre, menyajikan satu kisah Bond yang lebih keras dan gelap. Tak ada humor dan hiburan ringan seperti dalam film Bond sebelumnya. Seri Bond milik Craig adalah lebih personal ke sosok Bond, bahkan terlalu personal. Kisah film pungkasnya ini semakin menjadi-jadi dengan tampak sekali merangkai paksa plot seri-seri sebelumnya yang berujung pada masalah asmara sang jagoan. Yak betul, ini cuma masalah perasaan semata. Tak ada lain. Skyfall begitu brilian karena mampu memadukan formula klasik Bond dengan formula baru ini, plus chemistry maternalnya dengan M lama (Judy Dench yang bermain sejak Golden Eye/1995). Sementara No Time to Die adalah segalanya di ujung kutub berbeda dengan Skyfall. Semua yang ada dalam film ini, tidak ada lagi yang baru dari seri sebelumnya. Justru malah terasa sebagai pengulangan plot Skyfall, dengan hasil yang jauh lebih buruk karena tidak ada kedalaman kisah yang kuat. Salah satu contohnya adalah tokoh antagonisnya yang diperankan Malek yang tak jelas motif aksinya. Bagi saya ini adalah musuh Bond yang terburuk.

Baca Juga  The Call of the Wild

Satu hal terburuk dalam naskahnya yang sudah lemah ini adalah dialog. OMG! Dialognya benar-benar keterlaluan dan tidak pernah seburuk ini dalam film-film Bond manapun. Banyak kata-kata yang menegaskan sebuah aksi yang sebenarnya tidak perlu terlontar. Bahkan dampak dari ini, seolah semua karakter yang ada dalam film ini lepas dari sosok tiga dimensinya dan menjadi satu karakter yang berbeda. Entah, apakah saya saja yang merasakan ini? Saking putus asanya, M sampai menggunakan kata-kata yang sering digunakan M lama, “C’mon Bond, where the bloody hell are you?” Dialog-dialog yang teramat kaku ini menjadikan semua adegannya terasa artifisial. Sulit untuk bisa berempati dengan para tokohnya. Adegan demi adegan menjadi terasa melelahkan.

Bicara aksi, rasanya film ini adalah yang terburuk. Film Bond yang selalu identik dengan adegan aksi megah dan menegangkan, semuanya hilang tanpa bekas. Tak ada satu pun aksi yang memorable, kecuali penampilan sekilas dari agen Paloma yang diperankan enerjik oleh Ana de Armas. Dari sisi musik, ada nama komposer kondang Hans Zimmer yang kita tahu telah menghasilkan banyak komposisi yang melegenda. Saya berharap banyak sang komposer, namun lagi-lagi, tak ada yang menggugah. Usaha untuk membawa sensasi nostalgia muncul ketika melantun musik “We Have All the Time in World” serta penggalan musik dari film Bond, On Her Majesty Secret Service. Alih-alih menggunakan formula ini, sang komposer justru menampilkan kembali musik tema “The Dark Knight” dalam segmen klimaksnya.  Duh.

No Time to Die tercatat adalah salah satu film Bond terburuk dengan naskah dan segala atributnya  yang jauh di bawah standar seri Bond yang diperankan Daniel Craig. Tradisi film Bond memang masih kita rasakan sejak awal, sejak opening sekuen hingga title yang khas, namun naskah yang lemah membuat segalanya menjadi kehilangan mood. Film Bond yang dikenal istimewa, seburuk apapun filmnya, karena ada aksi heboh, sisi humor, gadget canggih, setting megah, hingga mobil dan asesorisnya, kali ini hilang tanpa bekas. Yang ada kini hanyalah, aksi medioker yang hambar, roman, drama keluarga, hingga konflik personal. No Time to Die, tidak pula menghibur maupun menggugah. Bagaimana kita bisa menikmati, jika sang aktor sendiri tampak sudah capek bermain sebagai sang agen. Penasaran, bagaimana seri ini berlanjut ke depannya dengan sosok 007 yang baru. Film James Bond dari masa ke masa memang merefleksikan eranya, baik perang dingin, kapitalisme, global warming, cyber terorisme, hingga kini pandemi (entah kebetulan atau tidak). Please, kembalikan tradisi Bond lama, yang menghibur, penuh aksi berkualitas, dan selipan humor berkelas, tanpa perlu lagi membahas sisi personal sang tokoh.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaSarat Nilai Filosofis, Pemenang FFWI Dianugerahi Piala Gunungan
Artikel BerikutnyaAum!
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.