Nomadland adalah film drama yang disutradarai, diproduseri, ditulis, serta diedit oleh Chloe Zhao. Kisah filmnya diadaptasi dari buku (noncerita) berjudul Nomadland: Surviving America in the Twenty-First Century karya Jessica Bruder. Film ini dibintangi oleh aktor-aktris senior, Frances McDormand serta David Strathairn serta beberapa pelaku “nomad” sungguhan. Film ini telah banyak mendapat pujian tinggi di banyak festival film besar, termasuk Golden Globe, serta dijagokan dalam ajang Academy Awards mendatang. Begitu baguskah film ini?
Film berkisah tentang Fern (McDormand) yang kehilangan pekerjaannya akibat pabrik gipsum di tempat ia bekerja ditutup. Fern menjual seluruh yang ia miliki dan memutuskan untuk hidup mengembara dari satu kota ke kota lain untuk mencari pekerjaan. Ia tinggal dan tidur di dalam mobil van tuanya. Dalam pengembaraannya, Fern bertemu dengan banyak rekan “nomad” sepertinya di mana ia bisa mencari teman baru dan bertukar pengalaman.
Boleh jadi ini adalah satu bentuk film fiksi yang paling dekat dengan film dokumenter. Bukan hanya gaya teknisnya, namun adalah tema dan isunya. Tak banyak konflik dalam filmnya. Godaan bagi Fern untuk kembali hidup normal ditampiknya mentah-mentah. Plotnya berjalan datar dan jujur saja, membosankan. Untuk apa sebenarnya Fern melakukan ini semua? Jawaban dari ini adalah kunci filmnya, sayangnya, saya tak mampu menangkapnya dengan baik. Ini bertambah sulit untuk dijawab karena (saya) sulit berempati dengan sosok Fern. Jika saja ini film dokumenter, bisa jadi tak sulit untuk menangkapnya.
Bicara akting pemain, khususnya McDormand, saya tak banyak melihat sesuatu yang sangat istimewa dengan perannya. McDorman pernah memainkan peran yang lebih sulit dari ini, seperti Fargo misalnya. Saya justru lebih berkesan dengan pemain-pemain amatir yang konon adalah pengembara sungguhan. Mereka lebih terlihat tulus. Saya tak bilang akting McDorman buruk, hanya saja untuk bisa bersimpati tidak cukup hanya secara gamblang terlihat menderita dengan segala rutinitas yang dijalankan sang tokoh. Gaya visual sineas yang dekat dengan dokumenter juga tidak mendukung untuk ini.
Nomadland berjalan layaknya dokumenter melalui isu sosial dan tradisi “nomad” di AS tanpa banyak greget dalam penceritaannya. Film ini bisa jadi sulit dijelaskan bagi seseorang yang tak mengenal banyak sejarah AS seperti saya. Banyak hal mungkin terlewat. Tapi bicara film, tema sejenis sudah disinggung dalam banyak film western klasik, sebut saja Grapes of Wrath atau How the West was Won. Film-film istimewa ini mampu memberikan argumen tegas untuk konteks masanya, tapi untuk era modern seperti sekarang? Satu narasi panjang di penghujung, memberikan jawaban kecil mengapa mereka melakukan itu semua, yakni sense of hope, atau mungkin sebaliknya, mereka tidak bisa move on? Entahlah, itu pilihan mereka, satu hal yang jelas, hati saya tidak bisa masuk ke dalam film ini.
Stay safe and Healthy!