Genre yang seakan paling “mudah” dibuat oleh para sineas di Indonesia, horor, kini datang melalui karya debutan Oma the Demonic. Baik sutradara, penulis, sebagian besar kasting, hingga perusahaan produksinya adalah debutan. Oma the Demonic diarahkan oleh Joel Fadly, dengan skenario garapan Anang Pangestu. Film produksi Unicorn Pictures ini diperankan oleh Jajang C. Noer, Karina Nadila, Diah Permatasari, serta pendatang baru Syahra Larez dan Bobby Rizky. Berhasil datang dengan gebrakan melalui karya debutan? Belum tentu.
Kisahnya bermula dari kejadian supranatural yang terus dialami seorang mahasiswi, Fiona (Nadila). Ia merasa dibayang-bayangi oleh permintaan tolong dari sesosok wanita menyeramkan dan “undangan” untuk segera pulang dari Oma (Jajang C. Noer). Kian intens bayangan-bayangan mendatanginya hingga mengganggu perkuliahan, Fiona mengajak dua temannya, Luna (Syahra) dan Jeff (Rizky) agar menemaninya memenuhi undangan itu. Tanpa mengabari siapapun ke mana mereka akan pergi, ketiganya menyusuri satu alamat tempat tinggal lama Fiona dengan santainya. Namun perjalanan mereka nyatanya tidak sesantai itu.
Konsep Oma the Demonic lebih-kurang “hampir” sama seperti The Others (2001). Jika kita hanya membicarakan ihwal konsep semata, bukan keseluruhan filmnya. Sebab nyatanya dari naskah saja, Oma the Demonic sudah bermasalah. Film ini punya naskah yang terlalu lemah. Kelemahan ini pun berbuntut panjang hingga berimbas ke mana-mana. Olah peran, pengadeganan, serta terutama dan yang paling utama masih kerap kali ada dalam film-film Indonesia ialah perkara dialog. Alasan sang tokoh utama harus pulang melalui bayangan rumah lama yang terus-menerus muncul pun berujung hampa. Tanpa motivasi besar, urutan adegan, dan alur yang jelas, Oma the Demonic sekadar memberikan rasa penasaran belaka.
Hal lain yang menjadi akibat dari lemahnya naskah film ini adalah keluwesan akting para pemain. Memang adakalanya naskah yang lemah masih bisa ditolong oleh pengemasan sinematik, melalui akting misalnya. Namun rupanya cara ini tidak dapat dicapai pula oleh sebagian besar pemain sentral Oma the Demonic. Hanya kedua senior, Jajang C. Noer dan Diah Permatasari saja yang berhasil, karena faktor rekam jejak. Nadila pun boleh dibilang cukup bagus, meski sering melontarkan dialog-dialog yang tidak konsisten. Lagi-lagi naskah. Syahra pada gilirannya juga bernasib sama dengan dialog-dialognya. Pada suatu kondisi dan adegan, keduanya akan menunjukkan sikap tertentu. Namun pada beberapa adegan berikutnya terjadi perubahan. Seakan tidak ada setelan baku terhadap karakterisasi mereka.
Satu lagi yang masih saja dijadikan cara instan dalam pembuatan film horor adalah mengambil jalan pintas dengan terlalu mengandalkan sosok hantu. Hal-hal semacam ini pada akhirnya selalu memengaruhi keseluruhan film dengan terus-menerus menampilkan hantu lewat jump scare. Akibatnya, nyaris di sepanjang menonton tidak ada ketegangan maupun perasaan takut karena seram yang biasa ada dalam film horor. Penonton lama-lama terbiasa dengan muka sang hantu maupun ancaman dari kemunculannya.
Oma the Demonic yang didominasi oleh adegan interior rumah pun tidak memanfaatkan eksplorasi ruang setting dengan baik. Penonton, lagi-lagi, kesulitan membayangkan posisi ruang dalam rumah tersebut. Kita tentu masih ingat dengan Pengabdi Setan yang begitu fenomenal itu. Tidak akan sulit untuk turut merasakan ngeri saat diperlihatkan hanya bagian tertentu dari rumah tanpa kemunculan sosok hantu di layar. Sebab penonton telah berhasil dibuat memahami dengan baik ruang dalam setting-nya. Namun Oma the Demonic dengan rumah kecilnya, justru berisi penempatan ruangan yang sukar dibayangkan. Dan lonceng? Apakah sekadar berkiblat ke Pengabdi Setan dengan loncengnya yang khas?
Oma the Demonic, menjadi film horor yang sudah ke sekian kalinya dibuat sekadar horor seperti sejenisnya. Konsep boleh jadi terinspirasi dari film barat, namun eksekusi bahkan dari naskahnya pun masih jauh dari cukup. Tidak sulit rasanya menonton Oma the Demonic sembari sering-sering memejamkan mata. Rasa penasaran yang tampaknya lebih diperhatikan oleh sang sineas ketimbang aspek horornya pun tak berhasil membangkitkan gairah. Tampaknya Anang memang salah memahami bagian-bagian penting yang mesti lebih diperhatikan dalam menulis, ketimbang hanya soal membuat penasaran penonton dengan “menjanjikan” penjelasan di akhir film.