Once Upon a Time... in Hollywood (2019)
161 min|Comedy, Drama|26 Jul 2019
7.6Rating: 7.6 / 10 from 878,315 usersMetascore: 83
As Hollywood's Golden Age is winding down during the summer of 1969, television actor Rick Dalton and his stunt double Cliff Booth endeavor to achieve lasting success in Hollywood while meeting several colorful characters along th...

Siapa penikmat film yang tak kenal Quentin Tarantino, salah satu sutradara berpengaruh di Hollywood. Kini, ia merilis film terbarunya yang juga merupakan karyanya yang ke-9, Once Upon a Time in Hollywood. Seperti semua karya sebelumnya, Hollywood juga dibintangi sederetan aktor dan aktris ternama, seperti Leonardo Dicaprio, Brad Pitt, Margot Robbie, Kurt Russel, Emily Hirsch, Dakota Fanning, hingga Al Pacino. Apa yang kita harapkan dari sang sineas kawakan ini, tentu adalah film yang dituturkan unik dengan gaya khasnya. Gaya estetik sang sineas dapat kamu baca di sini: Quentin Tarantino.

Alkisah di Hollywood tahun 1969, seorang aktor Rick Dalton adalah mantan bintang seri western televisi, bertajuk Bounty Law. Rick rupanya masih memiliki ambisi untuk bisa masuk ke industri film yang kini tengah memasuki masa transisi. Ia masih ditemani sahabatnya yang juga mantan stunt dobelnya di serial tv, Cliff Booth. Sementara itu, persis di sebelah tempat tinggal Rick, tinggal sineas kawakan, Roman Polansky bersama istrinya, aktris Sharon Tate. Film ini sederhananya hanya mengisahkan rutinitas dalam satu hari dari tiga tokoh utamanya, Rick, Cliff, dan Sharon.

Bicara film Tarantino memang tidak pernah sesederhana cerita filmnya. Lagi-lagi, Tarantino mampu mengemasnya dengan unik sekalipun tanpa gaya bertutur non-linier, namun banyak menggunakan teknik kilas balik walau hanya terasa sebagai sisipan. Kisahnya bisa dibilang tak ada konflik dan teramat datar. Film ini terasa sebagai film terlama (baca: sangat lama) yang menggunakan babak pertama (first act) tanpa nyaris ada titik balik cerita (turning point). Lebih tepatnya, Hollywood, saya sebut menggunakan struktur 2 babak. Kisahnya hanya dibangun secara spontan dari perjalanan masing-masing karakternya dalam satu hari tersebut. Saya bisa bilang dari ketiganya, subpot Rick adalah yang paling menarik ketimbang subplot Sharon yang murni datar.

Tarantino menutup (“kelemahan”) cerita datar berdurasi sangat lama ini dengan satu hal, mise_en_scene. Boleh jadi, film ini adalah film yang menggambarkan situasi dan suasana Hollywood terbaik yang pernah ada. Penonton seolah sungguh-sungguh di bawa ke Hollywood era 1960-an dengan segala pesona dan perniknya. Banyak sineas menutup ini semua dengan setting interior (di dalam studio), namun Tarantino justru mengumbar dengan dominasi adegan eksterior. Sang sineas mampu menampilkan adegan di jalan raya dengan latar bangunan, kendaraan, serta segala properti pada masa tersebut dengan amat meyakinkan. Jika bicara akting pemain, hanya Dicaprio yang bermain jauh di atas rata-rata pemain lainnya. Piala Oscar? Yah, peluang lebih dari 50% tapi nominasi jelas 100%.

Baca Juga  The Greatest Showman

Di luar cara bertuturnya, kita lihat sekarang, bagaimana Tarantino bermain-main dengan bahasa sinematik yang menjadi ciri terkuatnya. Jika saya cermati, Hollywood adalah film sang sineas yang paling mendekati film-film karya idolanya, Jean-Luc Godard dan beberapa film French New Wave lainnya. Baru kali ini, Tarantino menggunakan jump-cut begitu intensif dalam beberapa adegan yang banyak mengingatkan pada film ikonik Godard, Breathless. Gaya sisipan (insert) adegannya yang spontan pun (kilas balik) juga mirip. Penonton yang tidak awam dengan film-film Tarantino bisa jadi agak bingung membedakan karena momen sisipannya yang tak biasa. Satu lagi tentu adalah dialog, semua fans Tarantino tahu betul ini dan sering kali sang sineas ngalor-ngidul sekenanya menampilkan adegan serta dialog yang tak “penting” (bagi plot utama).

Dengan kekuatan mise_en_scene-nya, Once Upon a Time In Hollwood menjadi keunikan film Tarantino kali ini, di luar gaya khasnya yang agak melunak. Hanya saja, kecintaannya terhadap medium film (baca: Hollywood) bersama perniknya, membuat filmnya terlalu panjang dengan konsep yang tak lagi orisinal. Kisah film ini diadaptasi lepas sang sineas dari pembantaian tragis Sharon Tate dan rekan-rekannya oleh keluarga Manson yang merupakan salah satu tragedi besar di Hollywood kala itu. Lagi-lagi, Tarantino kembali mengubah “sejarah”, sama seperti apa yang ia lakukan dalam Inglourious Basterds. Karakter Rick dan Cliff adalah fiktif, dan usaha untuk mengenang Sharon Tate dengan cara Tarantino ini terbilang manis. Once Upon a Time in Hollywood bukan karya terbaik sang sineas, namun saya sangat menikmati setiap momen dan tribute yang ia sajikan. Seseorang yang pernah di sana dan hidup pada masa itu rasanya bisa mengapresiasi film ini jauh lebih baik.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaExit
Artikel BerikutnyaReady or Not
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.