Sejak trilogi Before Sunrise, rasanya tidak ada lagi drama roman yang melampaui batas kualitas ini. Open rasanya mampu mendekati ini dengan pendekatan yang berbeda dan lebih personal. Open adalah film drama roman sport yang disutradarai, ditulis, dan dibintangi oleh Jack Eve. Sementara kasting lainnya hanyalah Pippa Bennet-Warner dan Oliver Johnston. Ya benar, kastingnya memang hanya tiga pemain ini.

Setelah lima tahun kematian adiknya, Steve, seorang pegolf muda berbakat, akhirnya memutuskan kembali untuk ikut kualifikasi turnamen golf paling bergengsi di tanah Inggris. Ketika tengah latihan, aksinya dipotong Naomi, seorang perempuan muda yang tengah ber-jogging. Satu rangkaian dialog kecil berujung pada satu obrolan besar tentang kehidupan mereka berdua yang tanpa disadari mengubah hidup mereka.

Hanya ini saja? Ya, dominasi plotnya adalah hanya perbincangan antara Steve dan Naomi. Open adalah layaknya Before Sunrise di lapangan golf. Dialognya yang cerdas dan penampilan kuat dua bintang utamanya mampu menggiring dan menghanyutkan penonton untuk bisa berempati penuh dengan dua karakternya. Hebatnya, sang sineas mampu membuat olahraga golf bukan hanya sekadar tempelan, namun justru membalutnya secara brilian dengan konflik internal dua karakternya. Naomi, yang awam golf, menjadi mediator yang sempurna untuk menerima informasi teknis tentang olahraga ini.

Tongkat iron 5 atau 6? Satu pertanyaan kecil ini adalah kalimat kunci utama yang mewakili trauma Steve. Bagi yang punya pengetahuan lebih tentang golf bisa jadi lebih mudah menerima ini ketimbang penonton awam. Ini adalah satu pilihan penting yang akan membawa kita lebih dekat atau jauh dari tujuan semula, dalam konteks golf adalah hole (lubang). Bisa jadi, kita tahu ke mana arah filmnya, namun prosesnya sungguh satu hal yang sangat menyenangkan untuk diikuti.

Baca Juga  All the Bright Places

Selipan kilas-balik dan wawancara sang adik, memang membuat kita tahu lebih dalam ikatan batin antara Frank dan Steve. Namun, kadang selipan ini justru memutus mood penonton terhadap chemistry yang terbangun manis antara Steve dan Naomi. Saya tak bilang ini tak penting tapi rasanya sineas memiliki alasan personal untuk ini. Bisa jadi memang ini semua adalah pengalaman pribadi sang sineas. Saya hargai ini.

Open menyajikan kisah drama roman unik melalui kemasan olahraga golf dengan chemistry kuat dua kasting utamanya. Banyak film bicara tentang trauma dengan segala pendekatannya, namun Open dengan gaya produksi yang sederhana, naskah brilyan, dan penampilan apik dua kasting utamanya mampu memberikan sentuhan segar bagi genre roman maupun olahraga. Tongkat iron 5 atau 6? Hidup pasti penuh dengan pilihan, atau mungkin sejatinya tidak? Kita selalu bisa belajar dari kesalahan agar tidak terulang di esok hari, atau kita bersabar menerima apa adanya dan membiarkan semesta bekerja, seperti halnya untuk Steve dan Naomi. Bisa jadi tidak pernah ada pilihan yang salah jika kita mampu merenungkannya dengan bijak.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaWedding Proposal
Artikel BerikutnyaAsih 2, Cermin Horor Indonesia Kontemporer – Nominasi Kritik Film Terbaik FFI 2021
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses