Paws of Fury: The Legend of Hank (2022)
98 min|Animation, Action, Comedy|15 Jul 2022
5.7Rating: 5.7 / 10 from 6,038 usersMetascore: 45
Hank, a loveable dog with a head full of dreams about becoming a samurai, sets off in search of his destiny.

Paws of Fury: The Legend of Hank adalah film animasi parodi arahan Rob Minkoff. Film rilisan Paramount ini diisi suara oleh beberapa bintang kenamaan, sebut saja Michael Cera, Samuel L. Jackson, Michelle Yeoh, Djimon Hounsou, Ricky Gervais, hingga Mel Brooks. Kisah film ini merupakan adaptasi lepas dari film parodi klasik yang dibintangi Brooks, Blazing Saddles. Walau selama ini bukan produsen film animasi pesaing Disney, Pixar, dan Dreamworks, Kita lihat sejauh mana Paws of Fury bisa menyabet pedangnya untuk para kompetitornya.

Bagi yang pernah menonton Blazing Saddles (1974) plotnya tentu terasa familiar. Hanya saja, kisah parodi kulit putih vs kulit hitam, dialih cerita menjadi kucing vs anjing. Kisahnya berlokasi di sebuah areal pada masa feudal Jepang di mana Ika Chu (Gervais) adalah wakil Shogun (kaisar) di sana. Ia merasa terganggu dengan satu desa bernama Kakamucho dan menginginkan agar dihapus dari peta wilayahnya. Agar manuvernya halus dan tidak terdeteksi Shogun pusat, ia lalu mengirimkan seekor anjing tak berdosa yang ingin menjadi ksatria samurai bernama Hank (Cera) untuk menjadi penjaga desa tersebut. Di masa galau di mana ia tidak diterima warga desa, Hank pun secara tak terduga dilatih oleh seorang samurai sejati, Jimbo (Jackson).

Plotnya murni adalah carbon copy modern dari Blazing Saddles. Entah, ini adalah satu pilihan yang brilian atau sebaliknya? Tentu sah saja mengambil masa dan lokasi di mana pun sebagai latar kisahnya, tetapi mengapa harus masa feodal Jepang? Saya sebagai penonton, dibuat sedikit berpikir tentang ini. Entah ini menyinggung atau tidak, namun untuk parodi seperti ini, apa leluconnya tidak terlalu berlebihan untuk bangsa Jepang? Ini tentu bukan wilayah saya untuk berkomentar soal ini. Lantas target penontonnya sebenarnya siapa? Lelucon subteks semacam ini jelas terlalu berat untuk anak-anak.

Baca Juga  Cloudy with a Chance of Meatballs

Di luar problem konteks adaptasi di atas, Paws of Fury adalah satu film tribute besar tidak hanya Blazing Saddles, namun juga puluhan film lainnya. Entah hanya dialog, aksi, pengadeganan, properti, serta hal yang sepele, seringkali mengutip film populer lainnya, sebut saja West Side Story, Jurassic Park, Star Wars, Godzilla, Rocky, Mamma Mia, serta lainnya. Terkadang guyonannya memang pas dan brilian, namun terkadang juga garing dan terasa over. Saking banyaknya, bisa jadi kita melewatkan banyak lelucon tribute.

Satu teknik sinematik lain yang dominan dan mencuri perhatian sejak awal adalah pelanggaran tembok keempatnya. Blazing Saddles pun juga melakukan hal yang sama, namun Paws of Fury terasa lebih modern dan segar. Di segmen pembuka, dua orang karakter berceloteh tentang judul film yang mereka tabrak. Satu yang membuat saya tertawa lepas ketika Hank bahkan berkomentar tentang teknik montage ketika ia dan Jimbo tengah berlatih. Dua orang karakter bahkan berkomentar tentang durasi film sepanjang 85 menit yang segera habis. Bahkan kilas balik pun secara literal adalah film yang diputar dengan proyektor. Pada momen klimaks, satu pelanggaran mengambil tribute segmen puncak dalam Blazing Saddles. Seperti joke tribute-nya, teknik ini kadang brilian kadang pula terasa berlebihan.

Paws of Fury: The Legend of Hank, adaptasi kisah parodi western klasik (Blazing Saddles) dengan dominasi lelucon dialog yang “terhitung” berat untuk target penontonnya, namun memunculkan banyak banyolan sinematik segar untuk para penikmat film sejati. Satu lagi nilai lebih filmnya adalah para kastingnya. Ricky Gervais dan Sam Jackson rasanya adalah yang paling mencuri perhatian. Tanpa celotehan konyol mereka, film ini sudah habis sejak awal. Untuk tontonan keluarga, film ini tergolong aman tanpa ada pesan filosofis seperti Kung-Fu Panda, namun untuk para penikmat film, bisa jadi adalah tontonan sinematik yang menghibur dan menyenangkan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaResident Evil (Series)
Artikel BerikutnyaDC League of Super-Pets
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.