Paws of Fury: The Legend of Hank adalah film animasi parodi arahan Rob Minkoff. Film rilisan Paramount ini diisi suara oleh beberapa bintang kenamaan, sebut saja Michael Cera, Samuel L. Jackson, Michelle Yeoh, Djimon Hounsou, Ricky Gervais, hingga Mel Brooks. Kisah film ini merupakan adaptasi lepas dari film parodi klasik yang dibintangi Brooks, Blazing Saddles. Walau selama ini bukan produsen film animasi pesaing Disney, Pixar, dan Dreamworks, Kita lihat sejauh mana Paws of Fury bisa menyabet pedangnya untuk para kompetitornya.
Bagi yang pernah menonton Blazing Saddles (1974) plotnya tentu terasa familiar. Hanya saja, kisah parodi kulit putih vs kulit hitam, dialih cerita menjadi kucing vs anjing. Kisahnya berlokasi di sebuah areal pada masa feudal Jepang di mana Ika Chu (Gervais) adalah wakil Shogun (kaisar) di sana. Ia merasa terganggu dengan satu desa bernama Kakamucho dan menginginkan agar dihapus dari peta wilayahnya. Agar manuvernya halus dan tidak terdeteksi Shogun pusat, ia lalu mengirimkan seekor anjing tak berdosa yang ingin menjadi ksatria samurai bernama Hank (Cera) untuk menjadi penjaga desa tersebut. Di masa galau di mana ia tidak diterima warga desa, Hank pun secara tak terduga dilatih oleh seorang samurai sejati, Jimbo (Jackson).
Plotnya murni adalah carbon copy modern dari Blazing Saddles. Entah, ini adalah satu pilihan yang brilian atau sebaliknya? Tentu sah saja mengambil masa dan lokasi di mana pun sebagai latar kisahnya, tetapi mengapa harus masa feodal Jepang? Saya sebagai penonton, dibuat sedikit berpikir tentang ini. Entah ini menyinggung atau tidak, namun untuk parodi seperti ini, apa leluconnya tidak terlalu berlebihan untuk bangsa Jepang? Ini tentu bukan wilayah saya untuk berkomentar soal ini. Lantas target penontonnya sebenarnya siapa? Lelucon subteks semacam ini jelas terlalu berat untuk anak-anak.
Di luar problem konteks adaptasi di atas, Paws of Fury adalah satu film tribute besar tidak hanya Blazing Saddles, namun juga puluhan film lainnya. Entah hanya dialog, aksi, pengadeganan, properti, serta hal yang sepele, seringkali mengutip film populer lainnya, sebut saja West Side Story, Jurassic Park, Star Wars, Godzilla, Rocky, Mamma Mia, serta lainnya. Terkadang guyonannya memang pas dan brilian, namun terkadang juga garing dan terasa over. Saking banyaknya, bisa jadi kita melewatkan banyak lelucon tribute.
Satu teknik sinematik lain yang dominan dan mencuri perhatian sejak awal adalah pelanggaran tembok keempatnya. Blazing Saddles pun juga melakukan hal yang sama, namun Paws of Fury terasa lebih modern dan segar. Di segmen pembuka, dua orang karakter berceloteh tentang judul film yang mereka tabrak. Satu yang membuat saya tertawa lepas ketika Hank bahkan berkomentar tentang teknik montage ketika ia dan Jimbo tengah berlatih. Dua orang karakter bahkan berkomentar tentang durasi film sepanjang 85 menit yang segera habis. Bahkan kilas balik pun secara literal adalah film yang diputar dengan proyektor. Pada momen klimaks, satu pelanggaran mengambil tribute segmen puncak dalam Blazing Saddles. Seperti joke tribute-nya, teknik ini kadang brilian kadang pula terasa berlebihan.
Paws of Fury: The Legend of Hank, adaptasi kisah parodi western klasik (Blazing Saddles) dengan dominasi lelucon dialog yang “terhitung” berat untuk target penontonnya, namun memunculkan banyak banyolan sinematik segar untuk para penikmat film sejati. Satu lagi nilai lebih filmnya adalah para kastingnya. Ricky Gervais dan Sam Jackson rasanya adalah yang paling mencuri perhatian. Tanpa celotehan konyol mereka, film ini sudah habis sejak awal. Untuk tontonan keluarga, film ini tergolong aman tanpa ada pesan filosofis seperti Kung-Fu Panda, namun untuk para penikmat film, bisa jadi adalah tontonan sinematik yang menghibur dan menyenangkan.