Hype yang tak ingin disia-siakan begitu saja dari Si Doel? Siapa yang tahu bahwa produser Falcon tak berpikir demikian melalui Pelangi Tanpa Warna? Film ini diarahkan oleh Indra Gunawan, sutradara spesialis cerita-cerita roman remaja populer. Naskahnya digarap oleh Mahfrizha Kifani, yang memulai debutnya dalam film ini. Film bergenre drama keluarga ini diperankan oleh aktor-aktris kawakan Rano Karno, Maudy Koesnaedi, dan Ratna Riantiarno, lalu Zayyan Sakha dan Wiwi S. Berharap menemukan kesan yang berbeda dari Si Doel? Bisa jadi.
Fedi (Rano Karno), Kirana (Maudy), dan putra tunggal mereka, Divo (Zayyan) merupakan keluarga kecil yang hidup bahagia dengan keseharian mereka. Sang ayah dengan kesibukan pekerjaan kantorannya, Divo dengan rutinitas siswa SMP, dan Kirana yang sibuk dengan kesehariannya sebagai ibu rumah tangga. Kirana dibantu oleh seorang ART, Sumi (Wiwi). Sampai suatu hari, muncul keanehan dalam sikap dan perilaku Kirana. Belum lagi saat ibu dari Fedi (Ratna) atau yang akrab disapa Oma mulai menginap di rumah mereka.
Alur cerita yang mudah ditebak bukan? Bukan hanya awalan, bahkan alur di keseluruhan cerita serta plotnya pun demikian. Tidak ada antisipasi yang berhasil dari penulis naskah film ini. Banyak di antaranya bahkan dibiarkan klise tanpa ada upaya untuk menghindari kebenaran dugaan dari penonton. Pelangi Tanpa Warna pun lantas hanya bermodalkan muka sendu Maudy dalam aktingnya sebagai Kirana. Jika bukan karena olah peran dari para pemainnya, film ini murni sepenuhnya merupakan sajian hambar dan sangat membosankan. Dan hanya melalui satu-satunya aspek inilah Pelangi Tanpa Warna dapat dilihat. Sisanya? Sekadar kampanye pesan moral dan nasihat-nasihat yang menggurui.
Pelangi Tanpa Warna pun sama sekali tak menghadirkan kreasi yang setidaknya dapat mencuri perhatian di aspek lain. Minimal melalui cara pengambilan gambar, editing, musik, cahaya, warna, atau artistik pun tidak. Semuanya standar. Ini menunjukkan bahwa Pelangi Tanpa Warna memang hanya ingin memberi tayangan video berisi wejangan-wejangan belaka, tanpa ada pengalaman menonton film di sana. Para pencari pengalaman visual baru takkan menemukan kepuasan apa-apa dari film ini.
Karakterisasi dari seluruh tokoh film ini lebih parah lagi. Terutama untuk Fedi (Rano Karno), Divo, Sumi, dan Oma. Masing-masing memiliki karakter yang sama sekali tidak masuk akal dan berada di luar logika, ketika harus tinggal dengan pasien berpenyakit berat dalam satu atap. Baik cara mereka menyikapi pasien tersebut, pandangan mereka, cara merawat, hingga perkara kontrol amarah. Seolah segala masalah internal dalam rumah dapat diselesaikan cukup dengan marah-marah. Dan seakan itu cukup untuk mengisi kebutuhan dramatik cerita. Bila kita berbicara tentang film-film Indonesia era lama atau film-film televisi, pemahaman semacam itu mungkin masih bisa ditawarkan. Tetapi apakah Pelangi Tanpa Warna adalah sinema televisi tanah air yang tayang di era lampau?
Semata mengeksplorasi kemampuan akting Rano Karno untuk marah-marah dan Maudy Koesnaedi dengan wajah sendu juga bukan jawabannya. Belum lagi dengan “tiba-tiba” memunculkan adegan ibadah berjamaah sekeluarga ketika masalah kian pelik. Tidakkah format ini telah terlampau lazim di sinema pertelevisian dalam negeri? Pertanyaan besar lantas terlintas, bagaimana bisa sekelas Falcon mengeluarkan film semacam ini? Apakah mereka tidak punya tim khusus untuk men-supervisi naskahnya? Jangankan melangkah terlalu jauh ke pengolahan cerita, dari ide pun sudah klise. Sebut saja salah satunya tentang penyakit lupa yang bernama Alzheimer. Jelas Pelangi Tanpa Warna bukan satu-satunya yang mengangkat ini. Telah ada Affliction dan Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga yang telah mengolahnya dengan cara mereka masing-masing. Fakta bahwa penyakit ini telah kesekian kalinya diangkat, ternyata tak menggugah hasrat penulis film ini untuk merumuskan tawaran yang menarik dalam mengemasnya.
Pelangi Tanpa Warna tampaknya dibuat hanya sebagai proyek film alakadarnya, untuk mengisi daftar film dalam negeri rilisan bioskop bulan ini. Mengisi slot yang kosong pada pekan rilisnya. Film ini bahkan tidak rilis bersama film Indonesia lain dalam pekan yang sama. Debut yang penuh sekali dengan catatan merah bagi sang penulis, dan lagi-lagi (entah sudah ke berapa kalinya) untuk sang sutradara. Melihat dari hasil garapan dalam film ini, rasanya timpang sekali ketika Rano Karno, Maudy Koesnaedi, dan Ratna Riantiarno lah yang mengisi kursi-kursi pemainnya. Bermasksud mengangkat estetika filmis dengan nama-nama besar mereka, tetapi kalau dari naskahnya saja sudah anjlok, kamu berharap apa lagi?