Menjadi buronan tentara Jepang bukanlah perkara mudah bagi seorang pelarian. Mereka mesti hidup berbulan-bulan lamanya dan jauh dari sanak keluarga serta teman-temannya. Tekanan batin seorang tentara Pembela Tanah Air (PETA) dalam pelarian inilah yang ingin dihadirkan oleh Richard Oh dalam film Perburuan. Sang sutradara yang juga sebagai penulis skenario, dibantu Husein M. Atmodjo dengan naskah yang diadaptasi dari novel karya sang maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Film bergenre drama-sejarah produksi Falcon Pictures ini dibintangi oleh Adipati Dolken, Ayushita, Egy Fedly, Otig Pakis, Rizky Mocil, serta sejumlah pemain yang masih asing, yakni Khiva Iskak dan Ernest Samudera.
Seorang mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA), Hardo (Adipati Dolken) berkomplot dengan dua rekannya, Dipo (Ernest Samudera), Kartiman (Rizky Mocil), beserta pasukannya untuk mengambil alih satu markas batalion Jepang di wilayahnya. Rencana mereka gagal di tengah jalan. Hardo menjadi pelarian yang diburu oleh tentara Jepang dan ia harus bertahan hidup dalam persembunyian untuk sekian lamanya. Dalam perkembangan, perburuan ini mulai mengusik ketenangan keluarga, tunangan, serta orang-orang terdekat Hardo. Di momen yang sama, para tokoh cendekiawan bangsa berupaya keras untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Novelnya sendiri merupakan edisi pendek dan lebih absurd bila dibandingkan dengan karya-karya lain milik Pram. Tak ayal, Perburuan pun memiliki wajah tak serealis Bumi Manusia. Di luar persoalan realitas, rasanya film ini tak banyak mengurangi konten novelnya untuk dimasukkan menjadi bagian dalam film, terutama segmen absurdnya. Tindakan sang sineas ini tentu dapat menjadi bumerang. Satu sisi, barangkali ia ingin menunjukkan melalui film ini bahwa tidak akan mengubah kesan (absurd) yang dirasakan para pembaca novelnya. Namun, di sisi lain, tujuan yang ingin dicapai olehnya serta-merta tak jauh berbeda dengan Bumi Manusia, secara kualitas.
Di antara film-film arahan Richard Oh sebelum Perburuan (Terpana, Melancholy Is a Movement, Koper), tidak ada satupun yang dapat dikatakan sukses pasar dan dikenal baik oleh penonton awam. Pun meski dia sendiri penulis skenarionya. Kenyataan ini tak lepas dari gaya bertutur sang sineas dalam setiap filmnya yang menggunakan segmen absurd-imajinatif. Dari kacamata filmis, penonton mana pun pasti akan mencecar Perburuan dengan beragam cela, bila tanpa membaca novelnya. Tapi bagi yang telah menamatkan novelnya, jelas akan memaklumi film ini lebih baik daripada pencapaian Bumi Manusia. Poinnya adalah sang sineas tetap ingin mengembalikan ekspektasi penonton agar membaca karya tulisnya juga, alih-alih hanya menonton karya adaptasinya.
Naskah yang absurd mestinya tidak lantas begitu saja mengabaikan sisi logika filmnya. Terdapat beberapa cacat dalam plot Perburuan, terutama ketiadaan perubahan fisiologis, logika naratif, serta pengadeganan. Hardo, Dipo, dan Kartiman harus menderita dalam pelarian sekitar 6 bulan lamanya (sejak momen pemberontakan hingga kemerdekaan), namun fisik tubuh mereka (berat badan) relatif tak berubah. Tampak ketiganya sama sekali tidak bertambah kurus dan salah seorang di antaranya bahkan masih terlihat gagah dan kekar dengan tubuh berisi. Perubahan fisik tentu tidak cukup hanya dengan memanjangkan rambut dan jenggot semata. Selain itu, banyak sekali kita temui lompatan-lompatan dan situasi yang serba kebetulan, satu aksi tiba-tiba terjadi begitu saja tanpa set-up pengadeganan yang jelas.
Perburuan masih dapat dikatakan bagus jika dinilai dari sudut pandang artistiknya. Kecemerlangan ini didukung dari segi sinematografinya dengan kombinasi antara pencahayaan kelam dan shot-shot close-up. Hal ini tampak dalam segmen perenungan Hardo di waktu malam yang membuat film ini terasa begitu personal. Cara seperti ini membuat konflik intrapersonal yang dihadapi Hardo, tersampaikan dengan baik, terasa dekat, dan mendalam. Sayangnya, jika memang penggunaan teknis ini ditujukan untuk mengangkat segmen absurd agar menyerupai novelnya, sentuhan imajinasinya justru kabur pada saat itu pula. Pengalaman imajinatif yang dialami Hardo, semestinya tidak perlu dibuat berinteraksi dengan kehadiran tokoh lain layaknya segmen realis.
Rasanya, film ini lebih pantas untuk disebut sebagai kombinasi antara sinetron dan teater dengan adegan-adegan yang serba kebetulan, tidak terjelaskan, serta tidak masuk akal. Ini diperlemah pula dengan kombinasi aspek absurditas gaya teater yang tak sepenuhnya imajinatif itu. Dibandingkan sumber aslinya, Perburuan dan Bumi Manusia sama-sama melukai banyak hal. Tak hanya dari aspek filmis, namun momentum semangat kemerdekaan, kebangsaan, dan nama besar Pramoedya Ananta Toer. Perburuan jauh lebih cacat ketimbang Bumi Manusia, walau secara garis besar keduanya sama-sama melukai banyak hal dari sumber adaptasinya.
Miftachul Arifin – Mahasiswa Magang