Sutradara baru yang dua kali muncul lewat film roman, Dyan Sunu Prastowo, kini kembali dengan genre serupa melalui Pesan di Balik Awan. Penulisnya sendiri, Eimiria Tamsyarina masihlah baru juga. Kecuali Refal Hady dan Djenar Maesa Ayu, film produksi orisinal KlikFilm Productions bersama Limelight Pictures dan Canary Studios ini diisi oleh para pemeran baru, seperti Hanggini dan Girindra Kara. Kisah roman dalam negeri dengan tawaran yang berbeda? Tunggu dulu tanpa terlampau berharap banyak.

Seusai diputuskan oleh pasangan beda keyakinan, Kirana (Hanggini) menjajal cara cari jodoh dengan menerbangkan sebuah pesan sayembara lewat balon. Sang kakak, Binar (Girindra Kara) kian mengompori upaya adiknya agar tak melulu dirundung kesedihan. Tanpa disangka, pesan tersebut mendatangkan sosok pria ke hadapan Kirana. Meski hari-hari selanjutnya berlalu dengan menyenangkan, namun latar belakang sesungguhnya dari kedua pihak menghambat kemajuan hubungan mereka. Satu-satunya cara untuk melangkah maju lebih jauh ialah menyelesaikannya.

Pemicu pertemuan antara pasangan protagonisnya memang unik. Tetapi hanya sebatas itulah tawaran Pesan di Balik Awan untuk segmen-segmen awalnya. Rangkaian adegan yang berlangsung sesudahnya lebih-kurang sama saja seperti kebanyakan film roman. Kedua tokoh utama berjumpa, terjadi kecanggungan, mereka mulai rutin bertemu selama menjalani keseharian bersama, hubungan kian erat, lalu muncul masalah yang merenggangkan hubungan tersebut. Bahkan ending kisahnya sudah bisa ditebak dengan baik sejak pertemuan pertama mereka. Pasangan tersebut, pasti akan bersatu kembali dan kisah pun berakhir dengan bahagia. Hampir mirip A Perfect Fit, kecuali perkara kekentalan lokalitas budaya setempat yang tidak dimiliki Pesan di Balik Awan dengan sifat modernnya.

Menariknya, kedua film tersebut sama-sama menempatkan Refal Hady sebagai protagonis pria yang menjalin asmara dengan sang tokoh wanita. Seolah ini merupakan kebetulan yang sengaja direncanakan. Dua film bergenre serupa –selain contoh sebelumnya, selalu memosisikan Refal dengan format kisah yang lebih-kurang sama. Genrenya pun sama-sama berkutat dengan drama roman dan sentuhan unsur komedi seputar asmara. Sebut saja Galih dan Ratna sebagai debutnya, dan ada pula Wedding Agreement. Meski contoh yang disebut terakhir menunjukkan karakternya sebagai sosok pria yang berbeda demikian pula motivasi kisahnya, namun alurnya secara umum sama saja. Tampaknya dia memang aktor tipikal genre semacam ini.

Baca Juga  Jo Sahabat Sejati

Kisah yang bergulir dalam Pesan di Balik Awan berlalu lewat cara yang biasa saja. Memang benar, ada tawaran kejutan dari latar belakang sesungguhnya sang tokoh pria. Ada pula pesan moral dan nilai kehidupan yang ‘disuapkan’ terus-menerus untuk penontonnya. Namun, benarkah segalanya harus diajarkan sedemikian rupa tanpa membuka peluang bagi penonton untuk menikmati sendiri apapun yang tersaji di visualnya? Inilah problem terbesar Pesan di Balik Awan bersama “limpahan” dialognya. Kalau bukan karena perbedaan genre, Pesan di Balik Awan ”sama saja” seperti The Secret 2: Mystery of Villa 666. Apapun yang bisa muncul dan cukup dipahami hanya dari visual, juga dilisankan oleh tokoh yang terlibat di sana. Mubadzir aspek suara dari dialog yang sebetulnya tidaklah perlu adanya.

Pesan di Balik Awan tidaklah punya banyak perbedaan dari kebanyakan drama roman komedi buatan dalam negeri selama ini. Kecenderungan menggunakan format klise khas genre ini tanpa sungguh-sungguh menghadirkan tawaran lain yang kuat memperparah itu. Pada akhirnya yang tampak dari keseluruhan sajian Pesan di Balik Awan sebatas hiburan asmara belaka. Poin-poin dari rentetan pesan yang disampaikan sekadar berlalu tertiup angin. Niatnya hendak mengesankan, tetapi teledor mempertimbangkan banyak hal. Sineasnya mungkin lupa, bahwa format yang klise semestinya memiliki tawaran yang kuat dari aspek lain agar dapat termaafkan. Bukan lantas melulu memunculkan adegan-adegan romantis dengan senyum terkembang dan pipi yang merona merah bahagia.

PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaPersepsi
Artikel BerikutnyaSweet Girl
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.