Melalui jamaknya pertanyaan seputar di balik layar industri pertelevisian di Indonesia. Terutama kaitannya dengan sisi kreatif, manajerial, dan pendukung lain yang seringkali terdengar, Tompi berupaya mengakomodir pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam film arahannya, Pretty Boys. Berbekal cerita yang berangkat dari dirinya, naskah drama komedi ini ditulis oleh Imam Darto, dan diproduksi oleh kerja sama antara tiga studio baru, yakni Anami Films, The Pretty Boys Pictures, dan Heha Production. Para Pemeran dalam film ini pun, diisi oleh kalangan yang lebih sering terlihat di sejumlah program layar kaca selama ini, yakni Vincent Ryan Rompies, Deddy Mahendra Desta, Danilla Riyadi, Onadio Leonardo, Imam Darto, Hesti Purwadinata, Enzy Storia, bahkan Najwa Shihab. Namun, fakta adanya hubungan rekan kerja dalam satu lingkungan industri bahkan program yang sama, apakah mampu melambungkan capaian film ini?
Sepasang sahabat dengan berlatar keluarga berbeda, Anugrah (Vincent Ryan Rompies) dan Rahmat (Deddy Mahendra Desta), bercita-cita untuk menjadi pembawa acara dalam sebuah program TV. Cita-cita yang telah tumbuh semenjak kecil tersebut membawa mereka merantau ke Jakarta, namun mesti menelan pil pahit karena mereka justru terjebak menjadi pelayan dan koki restoran. Satu persatu, tawaran pekerjaan dilakoni oleh keduanya, asal berkesempatan bisa melangkah lebih dekat dengan industri TV. Sampai akhirnya mereka bertemu dengan Roni (Onadio Leonardo), seorang koordinator penonton, dan Bayu (Imam Darto), seorang produser acara TV. Lantas, apakah perjalanan karir dua sahabat ini berjalan mulus hingga mampu mencapai titik kesuksesan yang tak tergoyahkan, ataukah konflik dari latar belakang masing-masing akan sedemikian besar memengaruhi mereka?
Pretty Boys merupakan film komedi berteknis paling estetis sepanjang pertengahan tahun ini, walau tentu saja masih bercelah di beberapa titik. Sang sineas mengolah sudut-sudut pengambilan gambar di sejumlah segmen drama menjadi lebih datar, tapi juga bermain-main dengan warna-warna pada busana dan setting-nya. Selain itu, konsep pencahayaan yang digunakan oleh Pretty Boys tampaknya memang pantas bila dikatakan keluar dari pakem yang selama ini telah lazim diberlakukan dalam film kita. Sederhananya, film ini mengolah cara pencahayaannya menjadi tumpang-tindih, maupun saling berselang-seling. Dalam beberapa setting, cahaya yang masuk akan banyak berupa cahaya-cahaya terobosan. Sementara untuk setting sempit, padat, atau datar, cahaya yang masuk saling menyandingkan sisi gelap dan terang, bahkan seringkali meletakannya di atas kepala pemain, tepat di bagian tengah mise_en_scene, alih-alih menempatkannya di tepian.
Pemilihan warna untuk setiap busana dan setting, juga mampu merepresentasikan karakteristik dari setiap pemain, serta menjadi satu kesatuan dalam beberapa momen yang terjadi selama perjalanan kehidupan mereka. Salah satunya adalah penggunaan warna-warna primer untuk merepresentasikan kemajuan karir Anugrah (Nugie) dan Rahmat (Mathiew).
Sudut-sudut pengambilan gambar yang kebanyakan adalah shot-shot detail, turut menarik penonton agar lebih dekat dengan setiap pemain dan situasi dalam tiap adegannya. Sehingga kekuatan eksplorasi personal akan cukup efektif untuk mengurangi kesadaran penonton terhadap celah di titik-titik lain. Pun dalam kaitannya dengan konsep editing yang menggunakan pemotongan cepat, Jump-cut, dan pergerakan lambat di sejumlah bagian seperti pada trailer-nya, Pretty Boys memanfaatkan segala aspek teknis agar mampu mengangkat intensitas komedinya semakin melambung, tidak hanya mengandalkan dialog semata.
Sederetan kastingnya berasal dari latar belakang industri televisi, program dan stasiun yang sama. Tak ayal, ini menjadi cara lain bagi film ini untuk memeras tawa dari penonton. Di sisi lain, tindakan ini kemudian memperkuat anggapan bahwa Pretty Boys merupakan ‘proyek-teman’, karena sejumlah bangku penting di jajaran pemeran dan krunya diisi oleh rekan sejawat sendiri. Walau ini pun, bisa saja menguntungkan, karena tidak perlu berlama-lama membangun chemistry.
Namun, di balik segala hiruk-pikuk kemeriahan segmen komedinya, Pretty Boys tidak mencapai kepuasan maksimal dari sisi drama. Kualitas naskah yang kurang mumpuni, membuat penonton meraba-raba perpindahan antar babak dan tensi drama dalam film ini. Alur perjalanan cerita dari satu level ke level di atas maupun bawahnya menjadi tidak terlalu terasa perbedaannya. Hal ini bisa berarti baik dan buruk. Baiknya, itu berarti Pretty Boys telah berhasil membawa penonton menikmati segmen komedinya. Sementara yang buruk, film ini memiliki tingkatan dramatis yang cenderung datar.
Namun, di balik persoalan moral dan permainan amannya, Pretty Boys sanggup memanjakan mata penonton dengan aspek-aspek teknis yang ciamik dan estetis. Tak mengecewakan bagi debut penyutradaraan layar lebar pertama seorang Tompi, yang lebih kita kenal akrab dan memiliki banyak penggemar dengan identitasnya sebagai seorang dokter dan musisi jazz. Film ini seperti menggabungkan ragam nuansa beberapa jenis program TV menjadi satu medium film serta mengemasnya dalam unsur sinematik yang berkelas. Tentu dengan memaksimalkan setiap nuansa dari program TV tersebut, alih-alih membiarkannya alakadarnya seperti jamak dilakukan oleh stasiun-stasiun TV di Indonesia selama ini.
Miftachul Arifin