Kisah pernikahan palsu cukup jarang ditemukan di medium film, justru film lokal Wedding Agreement yang rilis beberapa tahun lalu. Purple Hearts menyajikan isu menarik ketika seorang marinir menikahi seorang gadis dilandasi asuransi kesehatan dan uang, tanpa embel-embel cinta. Purple Hearts digarap oleh Elizabeth Allen Rosenbaum dengan beberapa nama yang belum tenar, yakni Sofia Carson dan Nicolas Galitzine. Film rilisan Netflix ini bisa kita tonton sejak awal bulan Agustus lalu. Premis menarik dan sensitif ini apakah mampu ditekel dengan baik oleh sang sineas?
Cassie (Carson) adalah seorang musisi muda bersama grupnya The Loyal, yang mati-matian mencari nafkah untuk merenggang nyawanya yang terdiagnosa diabetes. Sementara Luke (Galitzine) adalah seorang marinir muda yang akan terjun ke Irak karena lari dari masalah dengan ayahnya dan hutang ribuan dollar dengan seorang penyalur obat. Bermodal alasan dan situasi genting dan mendesak, Cassie dan Luke akhirnya berpura-pura menikah untuk mendapatkan asuransi kesehatan dan segelintir uang tiap bulannya. Hubungan mereka yang bertambah akrab, rasa cinta pun mulai muncul.
Bagi penikmat film sejati rasanya tak sulit untuk mengantisipasi kisahnya. Babak demi babak terlalu mudah untuk ditebak skenario besarnya. Bisa jadi, kisah menarik ini bakal lebih menarik jika dimainkan oleh aktor/aktris kaliber papan atas. Mengapa? Chemistry adalah kunci pokok film ini. Dua orang kasting ini berakting untuk berpura-pura untuk tidak saling mencintai dan lantas mereka harus berakting (“berpura-pura”) untuk saling mencintai. Dua aktor utamanya gagal total dalam hal ini. Chemistry yang diharapkan tidak pernah muncul sepanjang film bahkan dalam lagunya. Rasa cinta tidak diperlihatkan semata hanya dengan tatapan, namun hati. Ini yang tak pernah muncul. Sejak awal hingga akhir pun, tak ada satu pun lonjakan chemistry yang terjadi. Adem.
Di luar isu sosial yang kuat, akibat naskah serta penampilan kasting utamanya, Purple Hearts tidak mampu menyajikan chemistry yang cukup untuk bisa meraih simpati dan empati. Naskah memang pula satu kelemahan besar yang tidak mampu menyokong penampilan para kastingnya. Alur plotnya terlalu klise layaknya sinetron. Setidaknya, bagi orang awam seperti saya, film ini menjadi pembagi informasi tentang kasus semacam ini di kalangan militer yang pasti tidak sedikit jumlahnya. Kasus macam ini rupanya tidak semata seperti dalam Green Card (1991) yang entah dulu kapan saya menontonnya. Ini satu referensi bagus jika kamu berniat menonton film sejenis.