Purple Hearts (2022)
122 min|Drama, Music, Romance|29 Jul 2022
6.7Rating: 6.7 / 10 from 57,577 usersMetascore: 30
In spite of their many differences, Cassie, a struggling singer-songwriter, and Luke, a troubled Marine, agree to marry solely for military benefits, but when tragedy strikes, the line between real and pretend begins to blur.

Kisah pernikahan palsu cukup jarang ditemukan di medium film, justru film lokal Wedding Agreement yang rilis beberapa tahun lalu. Purple Hearts menyajikan isu menarik ketika seorang marinir menikahi seorang gadis dilandasi asuransi kesehatan dan uang, tanpa embel-embel cinta. Purple Hearts digarap oleh Elizabeth Allen Rosenbaum dengan beberapa nama yang belum tenar, yakni Sofia Carson dan Nicolas Galitzine. Film rilisan Netflix ini bisa kita tonton sejak awal bulan Agustus lalu. Premis menarik dan sensitif ini apakah mampu ditekel dengan baik oleh sang sineas?

Cassie (Carson) adalah seorang musisi muda bersama grupnya The Loyal, yang mati-matian mencari nafkah untuk merenggang nyawanya yang terdiagnosa diabetes. Sementara Luke (Galitzine) adalah seorang marinir muda yang akan terjun ke Irak karena lari dari masalah dengan ayahnya dan hutang ribuan dollar dengan seorang penyalur obat. Bermodal alasan dan situasi genting dan mendesak, Cassie dan Luke akhirnya berpura-pura menikah untuk mendapatkan asuransi kesehatan dan segelintir uang tiap bulannya. Hubungan mereka yang bertambah akrab, rasa cinta pun mulai muncul.

Bagi penikmat film sejati rasanya tak sulit untuk mengantisipasi kisahnya. Babak demi babak terlalu mudah untuk ditebak skenario besarnya. Bisa jadi, kisah menarik ini bakal lebih menarik jika dimainkan oleh aktor/aktris kaliber papan atas. Mengapa? Chemistry adalah kunci pokok film ini. Dua orang kasting ini berakting untuk berpura-pura untuk tidak saling mencintai dan lantas mereka harus berakting (“berpura-pura”) untuk saling mencintai. Dua aktor utamanya gagal total dalam hal ini. Chemistry yang diharapkan tidak pernah muncul sepanjang film bahkan dalam lagunya. Rasa cinta tidak diperlihatkan semata hanya dengan tatapan, namun hati. Ini yang tak pernah muncul. Sejak awal hingga akhir pun, tak ada satu pun lonjakan chemistry yang terjadi. Adem.

Baca Juga  Gunpowder Milkshake

Di luar isu sosial yang kuat, akibat naskah serta penampilan kasting utamanya, Purple Hearts tidak mampu menyajikan chemistry yang cukup untuk bisa meraih simpati dan empati. Naskah memang pula satu kelemahan besar yang tidak mampu menyokong penampilan para kastingnya. Alur plotnya terlalu klise layaknya sinetron. Setidaknya, bagi orang awam seperti saya, film ini menjadi pembagi informasi tentang kasus semacam ini di kalangan militer yang pasti tidak sedikit jumlahnya. Kasus macam ini rupanya tidak semata seperti dalam Green Card (1991) yang entah dulu kapan saya menontonnya. Ini satu referensi bagus jika kamu berniat menonton film sejenis.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaDC League of Super-Pets
Artikel BerikutnyaParadise Highway
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.