Ready or Not (2019)
95 min|Action, Comedy, Horror|21 Aug 2019
6.8Rating: 6.8 / 10 from 215,014 usersMetascore: 64
A bride's wedding night takes a sinister turn when her eccentric new in-laws force her to take part in a terrifying game.

Ready or Not adalah film aksi horor-triller arahan duo sutradara Matt Bettinelli-Olpin serta Tyler Gillett. Film berbujet USD 6 juta ini dibintangi nama-nama asing di layar bioskop, yakni Samara Weaving, Adam Brody, Mark O’Brien, serta aktris senior Andie MacDowell. Dengan kombinasi antara tema keluarga dan thriller, komedi, bahkan horor, Ready or Not mencoba sesuatu yang berbeda di luar sinema mainstream kebanyakan.

Alkisah Grace memutuskan untuk menikahi Alex, putra dari keluarga kaya raya, Le Domas. Pada malam setelah acara pernikahan, Grace diharuskan untuk mengikuti tradisi keluarga Le Domas untuk mengikuti sebuah permainan yang dipilih secara acak olehnya. “Petak Umpet” (Hide Seek) adalah permainan yang ia dapat. Grace yang mengira semua ini adalah satu banyolan besar, rupanya salah besar. Ia kini harus berlari dan bersembunyi untuk bertahan hidup dalam sebuah permainan hidup atau mati, menghindari kejaran seluruh keluarga Le Domas yang menginginkan nyawanya.

Dari ringkasan plot, tempak premisnya yang amat menarik. Plotnya tentu banyak mengingatkan pada seri The Purge, hanya saja motifnya kini berbeda. Dalam The Purge, seseorang dibolehkan membunuh siapa pun tanpa ada konsekuensi hukum. Sementara dalam Ready or Not, nyaris mirip, hanya kali ini tidak semata dibatasi waktu (fajar), namun juga lokasi yang terbatas pada kastil keluarga Le Domas. Sejak pembuka, segalanya berjalan sempurna hingga plot mulai masuk ke babak dua (permainan dimulai), semua masih oke. Sejak momen ini, sisi komedi mulai terselip dalam plotnya, yang membuat tone “serius” yang dibangun sejak awal menjadi sedikit mengendur.

Baca Juga  Zack's Snyder Justice League

Sisi komedinya jelas tak buruk sama sekali bahkan kadang berkelas, hanya saja ini membuat logika genre dan penceritaannya sedikit berubah. Tensi ketegangan yang dibangun melemah dan ancaman bahaya terhadap protagonis terasa mengendur, dan plotnya pun menjadi tak sulit untuk diprediksi. Sayang sekali. Adanya twist plot di akhir yang mampu mengubah genrenya, juga tak serta merta mampu mengejutkan penonton, setidaknya saya. Gigitan plotnya hanya terasa di awal, namun makin tak terasa menjelang pertengahan dan klimaks film.

Pengembangan plot yang tak menggigit sangat berbeda dengan pencapaian teknisnya. Kasting seluruhnya bermain mengesankan, khususnya Samara Weaving yang sejak awal telah mencuri perhatian penonton dengan ekspresinya yang sangat ekspresif. Rasanya tinggal menunggu waktu, bagi sang aktris untuk bisa bermain di film yang lebih besar. Duo sineas, Matt dan Tyler, harus diakui memiliki talenta yang sangat baik dalam mengemas tone “gelap” filmnya, melalui mise_en_scene (setting horor), sinematografi, hingga editing-nya. Mereka berdua mampu mengemas aksi ketegangan sederhana menjadi berkelas dengan selera horor dan humor yang khas. Saya sungguh tak sabar menanti jika mereka berdua kelak mengarahkan film horor murni.

Di luar kasting brilian serta penyutradaraan yang trampil, sayangnya Ready or Not tidak mampu menjaga ritme ketegangan seperti yang dijanjikan premisnya. Film ini memang menawarkan tema keluarga yang tak biasa dengan solusi yang tak biasa pula. Apa yang dihadapi Grace memang terasa absurd seperti dunia yang kita tinggali sekarang yang semakin jauh dari kewarasan, nurani, dan akal sehat. Grace bagai sang martir melawan iblis dengan modal keberanian, hati, serta otaknya, dengan luka bekas tancapan paku di telapak tangannya.

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaOnce Upon a Time in Hollywood
Artikel BerikutnyaGundala
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses