Plot Die Hard seperti tak ada matinya dieksplorasi oleh para pembuat film. Terakhir, film Korea Ok! Madam, mampu mengkombinasi sisi aksi dan komedi dengan sangat baik. Kali ini, Run Hide Fight menampilkan aksi thriller menegangkan dengan setting di sekolah. Film ini diarahkan dan ditulis oleh Kyle Rankin dengan bintang-bintang antara lain, Isabel May, Thomas Jane, dan Radha Mitchell. Lantas bagaimana posisi film ini dibandingkan film berplot sejenis lainnya?

Zoe (May) adalah seorang siswi SMU yang terganggu kondisi mentalnya (suka berhalusinasi) setelah kehilangan ibunya (Mitchell) akibat sakit keras. Sang ayah (Jane) berusaha mengalihkannya dengan melatih dan mengajaknya berburu di hutan. Suatu hari, kejadian tak terduga terjadi di sekolahnya. Empat orang siswa dengan bersenjatakan lengkap mengambil-alih sekolah dan dengan brutal membunuh para siswa yang berlarian. Zoe terjebak dalam situasi genting di mana ia harus bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan rekan-rekannya.

Wow, film ini benar-benar di luar ekspektasi. Walau tak jelas motif utama dari para teroris muda ini, namun film ini mampu menampilkan plot solid serta aksi ketegangan mencekam sepanjang filmnya. Ancamannya begitu terasa nyata. Setting terbatas di seputar sekolah mampu dimaksimalkan dengan baik oleh naskahnya. Beberapa aksi dan pengadeganan terlihat sekali merupakan tribute dari Die Hard. Kelemahan banyak film yang menggunakan plot jenis ini adalah tidak mampu menjaga intensitas ketegangannya, namun tidak untuk film ini. Satu hal utama yang mendukung adalah akting yang sangat mengesankan dari bintang muda, Isabel May.

Sosok May merupakan kombinasi dari John McClane (Die Hard) dan Katniss (The Hunger Game). Bintang muda ini benar-benar mampu berakting bagus. Kombinasi rasa takut dan cemas, keberanian, serta status mentalnya yang terganggu, bisa ia mainkan dengan sempurna. Ekspresi akting dan fisik sang aktris memang banyak mengingatkan pada Jennifer Lawrence dengan kualitas akting yang sama baiknya. Dari sisi kasting memang tidak banyak masalah, kecuali sosok sang sheriff yang sedikit over dan seolah tidak menganggap serius situasi ini.

Baca Juga  Despicable Me

Melalui plot solid, setting terbatas, penampilan protagonis yang memikat, serta level produksinya, Run Hide Fight adalah salah satu penggunaan plot Die Hard terbaik dalam tiga dekade terakhir. Walau faktanya, penembakan di sekolah memang marak terjadi di AS. Sementara sisi hiburan film ini yang menyajikan banyak aksi brutal dilakukan siswanya bisa menjadi serangan balik karena jauh dari rasa simpati. Tidak seperti kebanyakan film dengan plot sejenis, film ini mampu menyajikan kuat sisi psikologis sang tokoh dengan menampilkan secara fisik sosok imajinasinya. Kisah film ini memang ditujukan untuk sang tokoh. Situasi penyanderaan di kantin sekolah dengan segala konfliknya adalah pula metafora perang batin dalam diri Zoe yang tak mampu melepas sang bunda. Dengan pencapaian sang aktris, bintang muda ini rasanya bakal bersinar di masa mendatang. Walau masih terdapat cacat kecil di sana-sini, harus diakui, Run Hide Fight adalah salah satu adaptasi plot Die Hard terbaik di era milineal.

Stay safe and Healthy!

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaLocked Down
Artikel BerikutnyaBoss Level
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.