Ketakutan menyatakan isi hati karena khawatir ditinggal pergi adalah salah satu penyebab kecanggungan sikap terhadap sahabat sendiri saat benih-benih romansa mulai menunjukkan diri. Gagasan dari novel Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi karya Boy Candra ini diadaptasi ke medium film berjudul sama yang diarahkan oleh Lasja Fauzia. Selain sang pemilik sumber ide cerita, ada Upi Avianto (penulis My Stupid Boss 1 dan 2, #TemanTapiMenikah, serta Sweet 20) dan Piu Syarif yang menggawangi skenario alih wahana ini. Film roman remaja produksi IFI Sinema bersama Screenplay Films ini diperankan oleh Jefri Nichol, Aurora Ribero, Axel Matthew Thomas, Nadya Arina, Karina Suwandhi, dan Rebecca Klopper, yang telah didistribusikan melalui Netflix.
Kevin (Jefri Nichol) adalah seorang lelaki biasa yang selalu tidak percaya diri saat dihadapkan pada situasi keintiman persahabatan dengan teman masa kecilnya, Nara (Aurora Ribero). Sementara Nara, adalah sosok yang kerap kali memosisikan Kevin pada kebimbangan sikap, karena menjadi sandaran kala ia patah hati, tapi di sisi lain harus berlapang dada dan ikut bahagia saat sahabatnya itu tengah dimabuk asmara dengan orang lain. Dengan Nara yang selalu datang dan pergi, Kevin tak pernah benar-benar bisa membuka hati untuk perempuan lain. Namun satu tragedi pun akhirnya mengguncang keduanya, termasuk semua orang yang terlibat dengan mereka.
Kesan pertama usai menonton Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi adalah ingatan tentang #TemanTapiMenikah. Bahkan garis besarnya persis. Hanya ada modifikasi di beberapa plot kecil, latar belakang, dan konflik-konflik. Namun konteksnya tetap sama, yakni kisah-kasih sepasang sahabat yang tumbuh dan berteman sejak kecil sampai masa-masa kuliah. Ditambah lagi, film ini (sebagaimana #TemanTapiMenikah) sama-sama diadaptasi dari buku. Memang tak bisa dipungkiri, status buku best seller selalu menggiurkan bagi industri perfilman untuk melirik dan menjadikannya tontonan khalayak remaja masa kini. Terlepas dari bagaimanapun aspek naratifnya nanti saat dalam bentuk sinema.
Sayangnya, gaya bahasa dalam penuturan dialog dalam Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi tidak konsisten. Beberapa bagian dialog yang digunakan terasa memang asli dari filmnya sendiri. Tetapi faktor adaptasi ‘memaksakan’ para tokoh harus berdialog selayaknya yang tertulis dalam novel, dengan diksi baku dan formal yang medramatisir keadaan, serta berlapis majas-majas. Bila masih harus memvisualkan dialog ala novel semacam itu, mengapa tidak sekalian keseluruhan film saja, atau paling tidak disesuaikan dengan latar belakang tokohnya? Memang boleh diakui, konflik-konflik yang menyusun film ini hingga klimaksnya mampu menaikkan emosional penonton, agar senantiasa mengikuti perkembangan perubahan emosi para tokohnya. Anggap saja itu memang nilai lebih film ini. Namun tetap saja, inkonsistensi dialog karena harus menyisipkan kalimat-kalimat ikonik yang asli dari novel benar-benar mengganggu.
Bila hanya melihat aspek sinematiknya dan mengesampingkan sama sekali segi naratif, Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi “setidaknya masih berusaha” memanfaatkan konsep-konsep tertentu. Misalnya, penggunaan sudut-sudut pengambilan gambar statis yang enak dipandang mata dan pemanfaatan warna-warna tertentu. Ada pula pengadeganan yang serba canggung dari Kevin kepada Nara, sebagai akibat pemendaman perasaannya. Bila mempertimbangkan –sekali lagi—segmentasi penonton, ini pun sudah cukup untuk memancing ketertarikan terhadap kisah filmnya.
Namun sebatas itulah yang mampu dilakukan oleh film ini. Sebab, toh naratifnya tak membawa kesan keseruan atau sensasi tersendiri kecuali semata-mata hiburan bagi khalayak remaja Indonesia masa kini. Apalagi dengan tema cerita yang begitu umum bahkan klise, akhir dari cerita film ini sudah bisa ditebak akan seperti apa. Walau mengadaptasi novel roman remaja populer hanyalah bentuk lain dari gambling dalam ekosistem perfilman genre ini. Rasanya, kemunculan Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi (dan teman-teman yang sejenis), tak ubahnya sebagai dampak minimnya potensi ide untuk digarap dalam kemasan genre drama roman remaja.
Film adaptasi pasti mengandung pemotongan di sana-sini dari karya sumbernya karena tuntutan medium film. Itu pula yang terjadi dalam Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi. Sejumlah bagiannya terasa kurang lengkap, karena menjaga fokus utama cerita. Kendati demikian, film ini mencoba menutupi kelemahannya dalam menjelaskan detail-detail yang harus dihilangkan tersebut dengan cara lain, yakni konflik antartokoh. Tetapi yang sangat disayangkan kemudian adalah, kecenderungan untuk menguatkan konflik antartokoh ini kian lama semakin menggeser inovasi sinematik dan hanya menyisakan cara pengambilan gambarnya saja.
Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi rasanya dibuat bukan karena semata-mata ingin menyampaikan gagasan utamanya (yang memiliki kemiripan dengan #TemanTapiMenikah), tetapi sekadar peluang menggaet segmentasi para pecinta genre roman remaja populer. Padahal, Upi Avianto sendiri sudah pernah terlibat untuk mengadaptasi buku-buku lain ke medium film juga, seperti My Stupid Boss 1 dan 2, #TemanTapiMenikah, dan Sweet 20. Bahkan menjadi salah satu nominasi dalam Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2016-2019.