Marvel Cinematic Universe (MCU) yang kini telah menjadi raksasa genrenya, bisa semaunya menampilkan sosok superhero manapun, bahkan yang namanya masih asing di telinga, terkecuali fansnya tentu. Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings adalah film ke-25 MCU yang digarap oleh Destin Daniel Crefton. Film ini dibintangi bintang-bintang muda, Simu Liu, Awkwafina, Meng’er Zhang, bersama bintang-bintang senior, macam Tony Leung, Michelle Yeoh, serta Ben Kingsley. Beberapa bintang tamu pemeran karakter MCU juga tampil, di antaranya Benedict Wong. Mampukah Shang-Chi sejajar dengan film-film MCU lainnya?
Shaun (Liu) dan Katy (Awkwafina) besahabat sejak lama dengan bekerja serabutan di Kota San Fransisco. Suatu hari sekelompok orang mencoba merebut kalung jade ibu Shaun di bis, dan ia pun terpaksa mengeluarkan ilmu bela dirinya yang tangguh. Shaun pun akhirnya mengaku bahwa ia adalah putra dari ketua kelompok mistik The Ten Rings, Wenwu (Leung). Dengan batu jade tersebut, sang ayah berniat untuk membebaskan jiwa istrinya yang terperangkap di tempat asalnya, kampung mistik, Ta Lo. Shang-Chi pun bersama Katy bergegas menuju Macau di mana sang adik, Xia Ling berada, yang memiliki satu lagi kalung jade milik ibunya.
Sejak segmen pembuka yang menggunakan bahasa aslinya, saya dibuat terperangah, karena jarang sekali film Hollywood melakukan ini. Seolah kita benar-benar menonton film Kung-Fu Mandarin, hanya saja dengan kualitas teknis yang berbeda. Tidak hanya bahasa, namun dengan segala budaya lokal dan kata-kata bijaknya, semua tersaji lengkap. Terlebih lagi adalah penampilan dua aktor legendaris Hong Kong, Leung dan Yeoh, membuat film ini nyaris seolah bukan film MCU. Saya mengapresiasi sekali semua ini.
Bicara kisahnya, lagi-lagi MCU mampu menampilkan sebuah struktur cerita segar yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Plotnya yang bergerak tanpa henti disisipi segmen kilas balik di momen-momen yang pas. Nyaris bisa dibilang struktur film ini adalah non-linier karena sedikit kejutan cerita di akhir. Saya justru menikmati momen kilas-baliknya karena empati kita pada tokoh-tokoh utamanya ada di sini. Sementara sosok Katy dan Trevor (muncul dalam Iron Man 3) mampu menjadi penyeimbang bagi kisahnya untuk menjembatani budaya Asia ke Barat. Secara umum jelas kisahnya jauh dari buruk, hanya saja tidak memiliki kedalaman karakter seperti kebanyakan film-film MCU. Problem bukan pada tokoh utama dan adiknya, namun pada sang ayah, yang ini pun, bagi saya terlalu sepele. Satu lagi yang saya cermati adalah sisi humornya yang terbilang garing untuk ukuran film-film MCU.
Seperti standar film MCU, Shang-Chi pun memiliki kualitas teknis yang sangat baik. Sisi sinematografi serta tentu efek visualnya tak perlu dikomentari lagi. Koreografi laga pun disajikan sangat meyakinkan dan sangat enak untuk dinikmati. Tak ada cacat pokoknya. Para bintang mudanya, juga tampil sangat baik. Awkwafina tentu kita sudah tahu sepak terjangnya, namun Liu dan Zhang ternyata tampil penuh percaya diri memerankan karakternya, tak hanya sekadar pintar berlaga. Ini tentu bagus untuk peran mereka dalam film-film MCU ke depannya.
Di luar segala pencapaian visual dan representasi Asia yang kuat, Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings jauh di bawah bayang-bayang film-film besar MCU lainnya. Sudah menjadi tradisi, satu poin besar yang menyeimbangkan kisah film ini dalam semesta sinematiknya adalah kejutan di akhir yang menampilkan dua sosok besar MCU. Kisah film ini menjadi pembuka dan hanya merupakan bagian kecil dari plot besarnya. Kita nantikan saja bagaimana kisah MCU berkembang, saya pribadi menunggu titik baliknya, dan sejauh ini belum ada tanda-tanda. Sang produser jenius masih memiliki peran besar di balik semua ini.