SIN merupakan film arahan Herwin Novianto yang diproduksi Falcon Pictures. Film ini ini dibintangi oleh Mawar Eva de Jongh, Bryan Domani, Carmela Van Der Kruk, Jeremy Thomas, serta Nadine Alexandra. SIN: Saat Kekasihmu adalah Kakakmu Sendiri adalah film yang diangkat dari novel karya Faradita berjudul Sin: God Hates the Sin Not the Sinner yang skenarionya ditulis Johanna Wattimena.

Ametta Rinjani adalah gadis paling cantik di sekolah. Metta, begitu ia biasa dipanggil, adalah remaja yang sombong, suka dugem, dan playgirl. Dikelilingi cowok-cowok yang mengejar cintanya, ia hanya memiliki satu tujuan, yakni mendapatkan satu laki-laki baik yang tidak hanya menyukai kecantikan dan tubuhnya saja. Metta pun menyukai Raga yang tampak cool. Dengan kepercayaan dirinya, Metta berhasil membuat Raga jatuh cinta dan menjaganya dengan tulus. Namun sayang, kebahagiaan dua remaja tersebut harus ternoda dengan kenyataan yang harus mereka hadapi.

Sebelumnya, saya tidak tahu bahwa film ini diangkat dari novel laris. Tetapi sependapat bahwa ide ceritanya menarik dan berpotensi memberikan drama sensasional. Ekspektasi pun tinggi karena ditilik dari judul saja sudah menarik. Akankah ada adegan kontroversial? Akankah ada cerita yang melewati batas? Apakah film ini bakal menjadi salah satu film Indonesia yang berani mengeksplorasi adegan dewasa dengan berbeda? Rasa deg-degan dan penasaran membuat saya penuh semangat menonton hingga nekat mencuri waktu demi menonton di jam tayang pertama.

Sepertiga awal kisahnya masih cukup nyaman untuk dinikmati hingga kemudian tampak sekali bahwa plotnya bolong di mana-mana. Memang, pada akhirnya penonton bisa memahami inti cerita. Tetapi unsur kausalitas cerita tidak dipaparkan dengan baik. Pada tahap awal, SIN mampu menyajikan adegan yang membuat penonton tertawa, tersenyum, bahkan tersipu melihat sikap dan polah pecinta masa SMA. Akting kedua tokoh utamanya begitu baik, terutama sang aktris. Tetapi dalam waktu sekejap penonton pun dibuat kecewa dengan suguhan adegan yang tidak pas bahkan lebay. Misal saja, ketika Metta diganggu oleh Satya, rival Raga di ring tinju. Metta bersikap cuek dengan santai mengusirnya sembari menunjukkan pintu keluar. Tapi pada adegan selanjutnya, Metta anehnya berusaha melindungi diri dengan hendak melempar kursi saat pintu dibuka karena ia berpikir bahwa Raga adalah Satya. Mengapa penceritaannya begitu tidak sinkron?

Baca Juga  Lorong

Setelah jengah menunggu momen untuk bertemu sang ayah, di mana ayahnya pun sangat merindukan Metta, tidak ada adegan dramatis yang disuguhkan. Sungguh tidak masuk di akal! Perkenalan santai macam apa yang dilakukan seorang ayah yang sangat merindukan anaknya? Momen yang berpotensi membuat kesan mendalam ini diperparah dengan kualitas akting buruk. Sangat menyedihkan. Hingga akhir cerita, plot twist pun menjadi hambar dengan solusi penutup yang datar. Ini membuat saya tertawa miris karena upaya untuk menunjukkan adanya kehidupan atau dimensi lain yang seharusnya tampak angelic justru tampak sangat remeh karena tidak digarap dengan baik, entah dari konsep adegan, pemilihan kostum, setting, maupun teknik editing.

Begitu disayangkan, kisah cinta yang problematik ini sebenarnya bisa disajikan lebih baik dan membuat tiap adegannya menggetarkan hati, membolak-balikkan perasaan, hingga bahkan membuat penonton kehabisan tisu. Sangat bisa. Bahkan, bukan tidak mungkin jika film ini dibuat dengan lebih sungguh-sungguh berpotensi untuk menyaingi kesuksesan Posesif (2017). Durasi 100 menit tentu tidak cukup untuk ide cerita SIN. Penggunaan lagu tema yang indah dinyanyikan oleh Hanin Dhiya yang berjudul Roman Picisan, ironisnya justru menggambarkan kualitas film ini. Kisah cinta yang mengharukan menjadi sekadar roman picisan semata ketika penggarapan filmnya dilakukan seadanya. Akhirnya, kecewa.

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaGemini Man
Artikel BerikutnyaHustlers
Menonton film sebagai sumber semangat dan hiburan. Mendalami ilmu sosial dan politik dan tertarik pada isu perempuan serta hak asasi manusia. Saat ini telah menyelesaikan studi magisternya dan menjadi akademisi ilmu komunikasi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.