Saw menjadi ikon genre slasher sejak dua dekade lalu yang kala itu digawangi oleh James Wan dan Leigh Whannel. Keduanya berlanjut menjadi sineas horor sukses melalui seri populer Conjuring dan Insidious. Saw bersama setengah lusin sekuelnya berkembang menjadi mesin horor sukses berbujet minim dengan para filmaker yang berbeda. Spiral tidak bisa juga dibilang sekuel, mungkin lebih pas “spin off” karena tidak berhubungan cerita secara langsung dengan seri sebelumnya. Spiral digarap oleh Darren Lynn Bousman dengan Wan dan Whannel duduk menjadi eksekutif produser. Film ini dibintangi dua bintang kondang, yakni komedian Chris Rock dan Samuel L. Jackson. Tak ada ekspektasi banyak menonton film ini, karena saya sendiri bukan fans serinya, tapi pencapaian film ini ternyata di luar bayangan saya.

Seorang polisi dibunuh secara brutal dengan metode dan modus operandi yang sama dengan pembunuh serial “Jigsaw” yang tewas beberapa tahun silam. Detektif Zeke (Rock) yang menyelidiki kasus ini menjadi bertambah frustasi ketika para korban berikutnya, diberi petunjuk oleh sang pembunuh melalui paket yang dikirimkan ke kantornya. Zeke lambat laun menyadari bahwa para korbannya ternyata adalah rekan-rekan satu kantornya yang pernah dekat dan bermasalah dengannya.

Jujur saja, saya memang tidak bisa menikmati serinya yang ultra sadis dan brutal. Saya hanya mengagumi konsep ide filmnya yang berada di ruang terbatas dengan segala peralatan mekaniknya untuk menghukum para korbannya. Opsinya hanya live or die! Jika hidup pun seseorang punya pengorbanan besar. Suka tidak suka, harus diakui ini memang unik yang menjadi ciri khas serinya. Spiral tidak disangka mampu menggunakan metode unik ini dan mengemasnya menjadi satu kisah investigasi yang menegangkan sekaligus mengerikan. Kisahnya sulit ditebak dan fans bisa jadi akan selalu mengaitkannya dengan sosok John Kramer (Jigsaw). Plot investigasinya memang bukan selevel Se7en, kastingnya pun jauh dari itu, namun melihat serinya, kisahnya adalah sebuah pencapaian yang jauh dari buruk.

Baca Juga  Black Doves

Dengan memanfaatkan gadget yang menjadi ikon serinya, Spiral berhasil membangun kisah thriller yang solid dengan pesan “Black Lives Matter” yang kini masih hangat. Adegan klimaks dan ending-nya jelas mengarahkan pesan filmnya ke arah ini. Kisah polisi korup boleh jadi sudah ratusan jumlahnya, namun rasanya belum ada yang mampu menggandengnya dengan plot seri lain yang telah populer. Ibarat seri Annabelle, tapi detektif (bukan paranormal) yang mengusut kasus pembunuhannya. Bagi serinya, rasanya film ini bisa menjadi sebuah penyegaran karena menggunakan perspektif cerita yang berbeda dari seri sebelumnya. Fans Saw bisa jadi suka, bisa pula tidak dengan transformasi ini. Bagi yang bukan penikmat serinya pun, film ini masih bisa dinikmati secara lepas tanpa harus tahu siapa Jigsaw.

Bagi penikmat film awam, ini jelas bukan tontonan yang ideal di masa lebaran. Mengapa harus dirilis sekarang? Anehnya lagi adalah soal sensor. Mortal Kombat dibabat habis secara kasar oleh guntingan sensor, namun film ini yang kelewat sadis bisa terlihat halus tanpa potongan. Masih terngiang jeritan beberapa penonton perempuan di sekitar saya yang saya tak heran dengan tontonan mengerikan yang tersaji. OMG.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaWrath of Man
Artikel BerikutnyaTarian Lengger Maut
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses